Pergi #TheParagraph10
Cek sebelumnya di Menunggu Pelangi #TheParagraph9
1st Paragraph by Desvian WulanHidup selalu tentang sebuah pilihan. Tak peduli benar atau salah, kita tetap harus memilihnya satu seolah kita memang tak punya pilihan. Seperti aku yang memilih untuk mengabaikan setiap kata-kata yang keluar dari bibir mereka. Ketika aku selalu berkeras bahwa keputusan yang aku ambil adalah pilihanku, yang akan kujalani dalam hidupku. Lalu mereka pun memilih untuk menjaga jarak, atau lebih tepatnya menjauhiku karena pilihanku. Lalu apa yang salah dengan pilihanku? Hanya karena aku tak mengikuti kata-kata mereka lalu menyisihkan dari sesuatu yang disebut keluarga? Ah, betapa mereka tak pernah tahu kalau aku butuh mereka di saat sulit seperti ini. Keluarga, tempat yang dulu selalu menjadi tujuanku pulang dan mendapatkn kehangatan yang penuh dukungan. Tempat yang kini menjelma bak tempat asing yang dingin, miskin dengan senyum dan kata-kata untukku.
“Eca...! Turun...!
Ada Om Anwar sama Tante Dwi nih di bawah...”
Itu
suara Bunda. Arrrghhh! Kenapa juga harus ada orang-orang itu. Aku tak menyukai
mereka sejak awal aku tinggal di keluarga ini. Tante Dwi itu kakaknya Ayah, dan
om Anwar tentu saja suaminya. Bagiku mereka sama. Sama-sama menjijikan! Penjilat!
Dengan bangganya mereka mengagung-agungkan anak-anaknya yang telah lulus kuliah
dan kerja di kantor-kantor besar. Tanpa tahu malu sekarang datang ke rumah
merecoki hubungan kami sekeluarga. Entah setebal apa muka mereka atau entah mereka
taruh dimana mukanya. Seakan mereka tak bersalah atas kejadian yang lampau. Menggadaikan
sertifikat tanah serta rumah Kakek, dengan alasan untuk biaya kuliah dan
pernihkahan anak-anaknya dan Ayah yang menjadi tumbalnya. Menjadi tumbal untuk
menebus itu semua. Dan sekarang, mana bantuan yang mereka janjikan? Bahkan aku
pun kuliah dengan hasil jerih payahku sendiri karena Ayah tak mau membiayaiku. Dengan
alasan pilihanku bukan pilihannya. Tapi akhirnya aku mampu bertahan. Aku memang
bukan anak kandung dari keluarga ini. Tapi aku paham betul kondisi keluarga ini
yang terbilang cukup sederhana. Bagaimana saat itu Ayah dan Bunda bekerja siang
malam demi menebus itu semua. Mengerjakan segala pekerjaan yang bisa dilakukan.
Dan kini mereka tertawa ringan di dalam rumah kami? Luar biasa bukan?
Aku
masih berada di atas ranjang ketika Bunda membuka pintu kamarku. Dengan
tatapanku yang mulai melemah aku mencoba bertahan dengan senyum simpul yang
selalu ku sediakan untuk Bunda. Bunda adalah orang yang paling mengerti. Hanya saja
Bunda tak bisa menjadi orang yang llebih berpengaruh terhadap keluarga ini
dibandingkan Tante Dwi. Bunda menarik kakiku dan menggesernya secara paksa agar
dia bisa duduk tepat di sampingku. Ah, tangan Bunda memang paling lembut. Sama seperti
Ibu panti ku dulu.
“Eca, kenapa gak
turun? Gak enak kan kalau ada saudara datang bertamu sedangkan tuan rumahnya
malah sembunyi di kamar kayak gini?”
“Buat apa sih
mereka datang lagi ke sini Bun? Masih kurang cukup kah mereka mempengaruhi
pikiran Ayah?”
“Sssst... jangan
ngomong gitu. Kamu jangan suka sok tau...”
“Maaf Bun, mungkin
aku sok tahu karena aku memang bukan bagian dari keluarga ini”
“Kamu nih ngomong
apa sih? Meskipun kamu bukan anak yang keluar dari rahim Bunda, tapi Bunda dan
Ayah ingin kamu tetap menjadi bagian dari keluarga ini..”
“Dulu, mungkin iya.
Sekarang? Gak Bun... Mereka tuh udah sukses mencuci otak Ayah.”
“Dengar Eca... kamu
sudah dewasa. Jadi sudah semestinya kamu melupakan hal-hal buruk tentang
mereka. Bagaimanapun, mereka itu adalah saudara kita. Kita harus tetap
menghormatinya...”
Hmm... lebih tepatnya saudara kalian. Aku tak lagi memandang Bunda. Tapi Bunda
terus saja berbicara, hingga akhirnya Bunda pergi sambil menarik lenganku. Dengan
wajah sembrawut aku ikuti saja kemauannya.
Baru
saja aku menuruni tangga mengikuti langkah Bunda, aku langsung mendapat
sambutan hangat yang teramat hangat. Kasarnya adalah panas. Aku pandangi mereka
satu persatu. Ada Ayah yang sedang duduk memegang koran. Riris yang asik dengan
game online-nya, dan tamu istimewa yang sepertinya memang sudah lama
menungguku. Itu dia Tante Dwi.
“Eca, baru bangun
tidur ya? Berantakan gitu?”
Aku
berusaha tersenyum terhadap wanita berbadan tambun yang baru saja menyapaku. Tapi
seketika aku merasa merugi atas senyum yang ku berikan ketika wanita itu melanjutkan
ucapannya.
“ Gak ngerjain
apa-apa sih ya?”
JLEB!
Rasanya ingin ku cacah saja tubuhnya yang penuh lemak itu. Belum sempat aku
mengambil pisau ke dapur, ku dengar pula ucapan dari pria disampingnya. Om
Anwar.
“Ya cari kesibukan
lah Ca... kalau diem terus gimana rezeki bakal dateng...”
Oke.
Mereka hanya orang-orang sok tahu. Mereka tak pernah tahu apa kegiatanku selama
ini. yang mereka tahu aku hanya berkutat di rumah, rumah, dan rumah. Dan hanya
sesekali keluar rumah.
“Maaf Om, Tante,
kalian tenang saja. Pilihanku ini adalah pilihanku yang paling tepat. Kalian gak
perlu mencampuri urusanku. Kalian memang tak kan pernah sepaham dengan
pilihanku. Rezeki adalah rezeki. Dan rezekiku ada di pilihanku.”
Hanya
itu yang bisa aku ungkapkan lewat hati kecilku. Aku masih tetap tak mampu
berbicara lantang di depan mereka. Aku terlanjur ingat ucapan Bunda. Aku harus
tetap menghormati mereka. Aku pun melengos di depan mereka dengan tatapan
sinisku juga tawa kecil mereka yang puas menusukku.
xxx
Pagi
sebelum subuh menjelang, aku menarik ransel berwarna merah hadiah ulang tahunku
beberapa tahun yang lalu. Ransel ini sudah ku penuhi beberapa keperluanku. Tas jinjing
yang satunya lagi sudah aku checklist pula. Cathy pun sudah siap karena kemarin
sudah sempat aku service terlebih dahulu. Cathy adalah motor matic-ku yang
sangat aku sayangi. Aku menutup pintu. Aku sudah siap menghadap langit yang
terbentang pagi ini. Kelak aku akan beradu dengan terbitnya sang mentari. Sampai
jumpa.
xxx
Komentar
Posting Komentar