Pergi #TheParagraph10

1st Paragraph by Desvian Wulan
Hidup selalu tentang sebuah pilihan. Tak peduli benar atau salah, kita tetap harus memilihnya satu seolah kita memang tak punya pilihan. Seperti aku yang memilih untuk mengabaikan setiap kata-kata yang keluar dari bibir mereka. Ketika aku selalu berkeras bahwa keputusan yang aku ambil adalah pilihanku, yang akan kujalani dalam hidupku. Lalu mereka pun memilih untuk menjaga jarak, atau lebih tepatnya menjauhiku karena pilihanku. Lalu apa yang salah dengan pilihanku? Hanya karena aku tak mengikuti kata-kata mereka lalu menyisihkan dari sesuatu yang disebut keluarga? Ah, betapa mereka tak pernah tahu kalau aku butuh mereka di saat sulit seperti ini. Keluarga, tempat yang dulu selalu menjadi tujuanku pulang dan mendapatkn kehangatan yang penuh dukungan. Tempat yang kini menjelma bak tempat asing yang dingin, miskin dengan senyum dan kata-kata untukku.
“Eca...! Turun...! Ada Om Anwar sama Tante Dwi nih di bawah...”

Itu suara Bunda. Arrrghhh! Kenapa juga harus ada orang-orang itu. Aku tak menyukai mereka sejak awal aku tinggal di keluarga ini. Tante Dwi itu kakaknya Ayah, dan om Anwar tentu saja suaminya. Bagiku mereka sama. Sama-sama menjijikan! Penjilat! Dengan bangganya mereka mengagung-agungkan anak-anaknya yang telah lulus kuliah dan kerja di kantor-kantor besar. Tanpa tahu malu sekarang datang ke rumah merecoki hubungan kami sekeluarga. Entah setebal apa muka mereka atau entah mereka taruh dimana mukanya. Seakan mereka tak bersalah atas kejadian yang lampau. Menggadaikan sertifikat tanah serta rumah Kakek, dengan alasan untuk biaya kuliah dan pernihkahan anak-anaknya dan Ayah yang menjadi tumbalnya. Menjadi tumbal untuk menebus itu semua. Dan sekarang, mana bantuan yang mereka janjikan? Bahkan aku pun kuliah dengan hasil jerih payahku sendiri karena Ayah tak mau membiayaiku. Dengan alasan pilihanku bukan pilihannya. Tapi akhirnya aku mampu bertahan. Aku memang bukan anak kandung dari keluarga ini. Tapi aku paham betul kondisi keluarga ini yang terbilang cukup sederhana. Bagaimana saat itu Ayah dan Bunda bekerja siang malam demi menebus itu semua. Mengerjakan segala pekerjaan yang bisa dilakukan. Dan kini mereka tertawa ringan di dalam rumah kami? Luar biasa bukan?

Aku masih berada di atas ranjang ketika Bunda membuka pintu kamarku. Dengan tatapanku yang mulai melemah aku mencoba bertahan dengan senyum simpul yang selalu ku sediakan untuk Bunda. Bunda adalah orang yang paling mengerti. Hanya saja Bunda tak bisa menjadi orang yang llebih berpengaruh terhadap keluarga ini dibandingkan Tante Dwi. Bunda menarik kakiku dan menggesernya secara paksa agar dia bisa duduk tepat di sampingku. Ah, tangan Bunda memang paling lembut. Sama seperti Ibu panti ku dulu.

“Eca, kenapa gak turun? Gak enak kan kalau ada saudara datang bertamu sedangkan tuan rumahnya malah sembunyi di kamar kayak gini?”
“Buat apa sih mereka datang lagi ke sini Bun? Masih kurang cukup kah mereka mempengaruhi pikiran Ayah?”
“Sssst... jangan ngomong gitu. Kamu jangan suka sok tau...”
“Maaf Bun, mungkin aku sok tahu karena aku memang bukan bagian dari keluarga ini”
“Kamu nih ngomong apa sih? Meskipun kamu bukan anak yang keluar dari rahim Bunda, tapi Bunda dan Ayah ingin kamu tetap menjadi bagian dari keluarga ini..”
“Dulu, mungkin iya. Sekarang? Gak Bun... Mereka tuh udah sukses mencuci otak Ayah.”
“Dengar Eca... kamu sudah dewasa. Jadi sudah semestinya kamu melupakan hal-hal buruk tentang mereka. Bagaimanapun, mereka itu adalah saudara kita. Kita harus tetap menghormatinya...” Hmm... lebih tepatnya saudara kalian. Aku tak lagi memandang Bunda. Tapi Bunda terus saja berbicara, hingga akhirnya Bunda pergi sambil menarik lenganku. Dengan wajah sembrawut aku ikuti saja kemauannya.
Baru saja aku menuruni tangga mengikuti langkah Bunda, aku langsung mendapat sambutan hangat yang teramat hangat. Kasarnya adalah panas. Aku pandangi mereka satu persatu. Ada Ayah yang sedang duduk memegang koran. Riris yang asik dengan game online-nya, dan tamu istimewa yang sepertinya memang sudah lama menungguku. Itu dia Tante Dwi.

“Eca, baru bangun tidur ya? Berantakan gitu?”

Aku berusaha tersenyum terhadap wanita berbadan tambun yang baru saja menyapaku. Tapi seketika aku merasa merugi atas senyum yang ku berikan ketika wanita itu melanjutkan ucapannya.

“ Gak ngerjain apa-apa sih ya?”

JLEB! Rasanya ingin ku cacah saja tubuhnya yang penuh lemak itu. Belum sempat aku mengambil pisau ke dapur, ku dengar pula ucapan dari pria disampingnya. Om Anwar.

“Ya cari kesibukan lah Ca... kalau diem terus gimana rezeki bakal dateng...”

Oke. Mereka hanya orang-orang sok tahu. Mereka tak pernah tahu apa kegiatanku selama ini. yang mereka tahu aku hanya berkutat di rumah, rumah, dan rumah. Dan hanya sesekali keluar rumah.

“Maaf Om, Tante, kalian tenang saja. Pilihanku ini adalah pilihanku yang paling tepat. Kalian gak perlu mencampuri urusanku. Kalian memang tak kan pernah sepaham dengan pilihanku. Rezeki adalah rezeki. Dan rezekiku ada di pilihanku.”
Hanya itu yang bisa aku ungkapkan lewat hati kecilku. Aku masih tetap tak mampu berbicara lantang di depan mereka. Aku terlanjur ingat ucapan Bunda. Aku harus tetap menghormati mereka. Aku pun melengos di depan mereka dengan tatapan sinisku juga tawa kecil mereka yang puas menusukku.
xxx

Pagi sebelum subuh menjelang, aku menarik ransel berwarna merah hadiah ulang tahunku beberapa tahun yang lalu. Ransel ini sudah ku penuhi beberapa keperluanku. Tas jinjing yang satunya lagi sudah aku checklist pula. Cathy pun sudah siap karena kemarin sudah sempat aku service terlebih dahulu. Cathy adalah motor matic-ku yang sangat aku sayangi. Aku menutup pintu. Aku sudah siap menghadap langit yang terbentang pagi ini. Kelak aku akan beradu dengan terbitnya sang mentari. Sampai jumpa.

xxx






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lalat Dalam Kesehatan ???

Mimpimu, cita-citamu bercerita.. ^^

Pratugas day 24