Menunggu Pelangi #TheParagraph9
Diamku bukan berarti emas. Bahkan usahaku bukan berarti mimpinya. Seluruh pilihanku bukan pilihannya. Karena aku bukan-nya. Telingaku memerah memanas terbakar lagi atas kata itu. Suara tak menjadi masalah ketika kata dapat lebih tajan dari suaramu yang terkadang merdu. Mata tak lagi dapat membendung. Rupanya sudah terlalu penuh menahan hentakan air itu. Hati tak lantas menerim. Ini terlalu sakit. Melebihi rasanya patah hati, sakit gigi, atau tak makan seharian. Kaki dan tangan menjadi sulit bergerak. Karena sama-sama merasakan ada yang salah dengan tubuh ini. Padahal rasa-rasanya kaki ini ingin melangkah lebih jauh dan melompat lebih tinggi. Serta tangan yang ingin berbuat lebih banyak, menulis lebih baik. Sedangkan mulut hanya bisa terkunci menahan dahaga yang sudah lama ada. Tak mampu lagi berbicara banyak. Ahh untuk apa aku berbicara sedangkan bicaraku saja tak akan mampu didengar dengan pemahama yang tak meu berkembang. Aku akan selalu salah dan dianggap kecil olehhnya.
Kata orang pelangi itu
indah. Ya, indah karena pelangi hadir sesaat ketika hujan selesai membasahi
bumi. Karena pelangi tak pernah hadir ketika langit sedang cerah. Menurut ilmu
alam, pelangi tercipta akibat adanya pembiasan sinar matahari oleh air hujan. Mungkin
benar, tapi menurutku sepertinya pelangi mengerti dan sadar betul bahwa
kehadirannya memang sangat dibutuhkan ketika huan telah turun. Ia bisa
membiaskan segala kesedihan yang semestinya telah muncul dan mencoba memberi
sedikit harapan untuk mencaricelah menuju hidup yang lebih baik.
Di bukit biru, di bawah
pohon kenari. Aku duduk bersila menengadah langit yang kusam. Harusnya saat ini
kau hadir, ikirku. Tapi mengapa kau tak kunjung juga hadir? Hatiku mencelos. Sampai
kapan aku mesti menunggu kehadiranmu. Manakah janji yang kau bilang bahwa
engkau akan hadir setelah hujan turun. Dan setelah sekian kalihujan yang turun,
kau tak juga nampak. Akhirnya aku mengulangi cerita-cerita sebelumnya. Menatap langit
yang enggan membaik. Berbicara layaknya manusia dengan manusia.
“Langit...
kau sendiri sudah tahu, bahkan mungkin sudah bosan mendengarkan ocehanku yang
isinya hanya itu-itu saja. Ku pastikan seharusnya kau sudah paham betul dengan
apa yang ku ceritakan. Aku menyayanginya, bahkan sangat menyayanginya. Mungkin jika
tanpa dirinya aku tak kan mampu berdiri di sini, menghadapi hidup yang
sedemikian pelik. Dia mengangkat keberadaanku menuju sebuah tangga dan
menguatkan aku dalam segala hal agar aku mampu mencapai lantai teratas yang
Tuhan buat. Aku menghormatinya, sama seperti halnya anak-anak lain yang dididik
untuk saling menghormati terhadap orang lain. Aku pun menghargai kata-katanya
meski terkadang aku harus segera bergegas mencari obat merah dan plester untuk
menutupinya. Aku mencoba berjalan searah dengan yang diarahkannya, tapi ketika
aku dihadapkan pada satu pilihan aku memilih memutar menjauh dan mencari
pilihan lain. Dan aku sadar, dia tak menyukainya. Bukan ituyang dia mau. Tapi
ini mauku!dan aku terjebak dalam pilihan ini.... Langit, dapatkah kau segera
memanggil pelangi untuk segera hadir saja?”
xxx
Saat itu kami dibuat gugup. Kami semua diminta untuk berkumpul di sebuah
ruang kelas ber. Ruang kelas yang kelak menjadi sejarah perpisahan salah satu
dari kami. Kami memang sudah tahu apa yang akan terjadi. Salah satu dari kami
akan terpisah dan memiliki hidup yang baru. Namun kami sudah berdoa bersama,
agar siapapun nanti yang pergi agar selalu diberi kebaikan sehingga dapat
kembali membagi kebahagiaan kepada kami semua. Dan ketukan sepatu mengawali
dinginnya tubuh kami. Suara itu terdengar semakin mendekat. Kami saling
berpegangan erat. Kemudian tampaklah sepasang suami isteri yang terbilang sudah
tidak muda lagi. mungkin usianya sudah menginjang kepala tiga ke atas. Tapi paling
tidak, mereka adalah pasangan yang sangat serasi. Tampan dan cantik. Mereka mengumbar
senyum kepada kami, kami membalasnya pula meskipun sedikit getir. Ibu Panti
meminta kami menyapa mereka dan menyebutkan nama masing-masing secara
bergantian. Sama persis seperti latihan malam tadi.
Aku melihat pasutri itu saling berbisik-bisik. Entahlah apa yang mereka
bisikan. Sebenarnya aku tak begitu berharap banyak seperti teman-temanku yang
lain. Aku sudah merasa cukup bahagia tinggal bersama Ibu Panti yang begitu
sabar dan anak-anak lain yang bernasib sama denganku. Tapi Ibu panti selalu
memberikan pemahaman lain tentang semua itu. Beliau selalu berkata bahwa kalian
berhak mendapat penghidupan yang lebih layak dari ini semua. Aku masih ingat
kata-kata yang sering membuatku bersemangat kembali. “Gapailah mimpimu ketika langit kelam memberi celah untuk pelangi. Dan bersabarlah,
karena tak ada buah yang lebih manis daripada buah kesabaran.” Mengingat
kalimat itu, membuatku paling tidak bersiap menghadapi alur hidup. Sampai tak
ku duga, pasutri itu memilihku. Memilihku untuk menjadi bagian dari keluarganya
yang sepi akan suara anak-anak. Aku pergi saudara-saudaraku... Air mataku mengalir.
xxx
Katanya tiga tahun keberadaanku di tengah-tengah keluarga itu membawa
keberkahan. Mungkin karena tiga tahun setelah kehadiranku, hadir pula sebuah
janin di perut sang nyonya yang baik hati. Sang nyonya yang menjadi Bundaku
juga sekarang. Aku turut bahagia mendengar kabar baik ini. Berkali-kali Bunda
dan Ayah memelukku dan menciumi pipiku yang seperti bakpao. Ah, aku jadi ingat
deretan kata-kata itu lagi. Mungkinkah
ini adalah salah satu celah pelangi yang kau bilang itu?
xxx
Setelah bercerita sekian lama dengan sang langit, aku memutuskan diri
untuk segera ulang ke rumah. Aku harus tetap pulang, meskipun sebenarnya aku
masih nyaman berdiam diri di bawah pohon kenari ini. Pohon yang di berikan
mantan kekasihku dulu. Aku jadi nyengir sendiri. Aku pun pulang.
Tak butuh waktu lama untuk bisa sampai di depan rumah. Segera ku bawa
masuk sepeda antik berwarna hitam mengilat itu ke dalam garasi. Aku pun masuk
ke dalam dan disambut lagi olehnya yang sudah memasang wajah tak baik. Aku mengucap
salam.
“Assalamualaikum... “
“Waalaikumsalam...” terdengar jawaban dari setiap mulut yang ada
di dalam sana. Dan baru saja aku mengambil segelas air minum, seorang remaja
yang mulai beranjak dewasa yang sedang mengotak-atik laptop dihadapannya memanggilku.
“Kak, menurutmu aku lebih baik masuk ekonomi
atau hukum atau komunikasi?”
Belum sempat pun aku berpikir. Seorang lelaki di depan TV sudah
mendahuluiku.
“Sudahlah Sera... Ayah kan sudah bilang kamu
itu lebih baik ambil ekonomi. Meneruskan hasil jerih payah Ayah selama ini. Kita
ini keluarga berdagang, maka cuma akan sukses kalau kita berdagang lagi. gak
usah kamu minta saran lagi sama kakakmu itu. Sudahlah cukup dia yang berbeda
diantara kita. Apalah yang bisa dihasilkan dari seorang sarjana sastra..”
Sera menatap laptopnya beku. Sedangkan Ayah mencoba memindah-mindahkan
saluran TV setelah akhirnya berhasil menggoreskan kata-kata tajam di hatiku. Aku
segera menyimpan kembali gelas berisi air mineral itu. Bergegas meninggalkan
mereka. Aku tak mau berbicara banyak. Bicara banyak hanya akan membuat perkara
semakin keruh. Aku masuk ke dalam kamar ku yang mungil. Menatap foto kami semua
saat di panti bersama Ibu panti. Meringis mengingat ketiadaannya beliau sejak 4
tahun yang lalu. Ibu... aku sudah
bersabar. Manakah buah dari kesabaran itu? Kemanakah celah pelangi itu?
xxx
Komentar
Posting Komentar