Cut!
Andai saja saat ini aku masih
belum sadar. Mungkin mulut ini akan terus menganga di hadapan dia. Panggilan itu.
Panggilan yang selama ini selalu ku rindukan. Panggilan yang hilang selama
bertahun-tahun. Panggilan yang selama ini telah membuatku runtuh. Aku memang
tidak sedang menganga. Tapi mata hatiku benar-benar menganga. Dia menarik tanganku, menjabat
tanganku yang lemah dan dingin. Sedangkan tangannya tetap kokoh dan agak basah. Sama seperti
waktu itu.
“hei, alhamdulillah mas! Kok ada di sini mas? Ada tugas?”
“lagi cuti. Lagipula kangen sama kota ini”
Jleb! Kangen!
“kangen sama kamu juga sih,” jawabnya santai, ringan, dengan
senyumnya yang menawan.
Dadaku terasa semakin tertohok. Tapi
lagi-lagi aku berusaha mengendalikan semua ledakan-ledakan yang muncul di tubuh
ini.
“Wew! Aku kan emang ngangenin! Emang kemana aja sih? ” jawabku
dengan wajah angkuh yang sebenarnya bukan aku.
“tuh kan tapi mas tau, kamu juga kangen aku kan?”
Dan pertanyaan itu menusuk lagi
ke dalam hati untuk ke sekian kali. Aku hanya mencibir pertanyaannya barusan.
Tuhan.... Restu mana??? Aku memperhatikan jalan di sekitarku dan belum ada
tanda-tanda dari Restu.
“mau kemana dek? Pulang?”
Aku menjawabnya dengan anggukan
kepala.
“aku antar ya?!” ajaknya bersemangat.
Glekkk! Aku menelan air liurku sendiri.
***
Ponselku berdering. Ada pesan
singkat masuk. Dari Restu.
Aku bakal datang 15 menit lagi. Bersiap-siaplah. Kita makan di luar.
Isinya begitu datar. Bahkan tidak
ada kata sayang di dalamnya. Tapi aku tak mau memikirkannya. Kepalaku sudah
kepalang penuh dengan kejadian sore tadi. Aku pun membalas pesan Restu dengan
kata Iya.
***
Kami makan malam di tempat biasa
kami bertemu. Aku dan Restu secara kebetulan memakai pakaian dengan warna
senada. Hijau. Dia memberiku senyum seperti biasa. Seakan-akan tak ada kejadian
mengesalkan hari ini. Tapi aku pun tak sanggup membalas senyumnya dengan
kecutan. Aku terlanjur sayang padanya.Sampai akhirnya Restu mengantarku
pulang kembali. tiba-tiba di depan rumah, wajahnya mulai tampak serius dan
datar.
“Aku melihatmu tadi sore pulang bersama lak-laki. Dan ku pikir itu
bukan adikmu. Siapa Hann?”
Pundakku menegang secara tak
sadarkan diri. Kemudian aku melemaskannya kembali. apa yang harus ku jawab? Jujur?
Atau berbohong?
“dia temanku. Mas Harri.” Jawabku enteng. Sekarang giliran aku
melihat pundaknya yang menegang.
“Harri? Yang dulu-“
“meninggalkanku bertahun-tahun tanpa ada kejelasan sama sekali. Dan aku
benar-benar merasakan cinta saat itu.”
“saat itu saja kah? Sekarang?”
Aku tak mampu menjawabnya. Bibirku
kelu. Mataku memanas. Air mataku telah siap mengalir deras.
“aku memang merasakan rasa cinta yang sebenarnya ketika bersamanya. Hingga
aku ditinggalkannya pun aku tak pernah membencinya. Aku memang sangat tulus
mencintainya. Tapi sayang, dia tidak tulus padaku”
“artinya, kamu masih mengharapkannya?”
“a-a-aku memang pernah mencintainya-“
“jujur Hann. Dengarkan kata hatimu!”
“tapi sekarang aku mencintaimu!”
“really? Ciuuus?”
Aku jadi tertawa sambil menangis mendengar
pertanyaannya dengan logat Omes dan aku dengan yakin menganggukan kepalaku
dihadapannya. Kemudian dia mengelus0elus kepalaku.
“Aku percaya padamu Hann. Okay, just cut it out!”
Untuk kedua kalinya aku
memeluknya dan membasahi pakaiannya. Dia mengelus-elus kepalaku lagi.
“kamu tahu? Aku cukup bergetar ketika kamu mengatakan bahwa dia adalah
Harri”
Aku masih diam dalam pelukannya,
sibuk dengan tangisku sendiri.
“aku berusaha untuk bisa tenang, jika kamu akhirnya memilihnya.”
Dan aku menjawabnya dengan yakin
“itu takkan pernah terjadi. I’m yours”.
Komentar
Posting Komentar