Moonbow
Jujur saja aku baru baru mendengar gejala alam ini.
Terpana dan terkagum-kagum atas kuasa Tuhan yang satu ini. Memandanginya
membuatku ingat pada satu ayat yang diulang-ulang pada surat Ar-Rahman. “Nikmat manamu lagi yang kau dustakan?”
sungguh, aku bersyukur bisa menatapnya langsung seperti ini. Bukan lagi hanya
cerita yang sering ku dengar dari mulutnya. By the way, terima kasih telah
mengantarku pada moonbow. Ku abadikan beberapa bagian moonbow yang entah kapan
aku kan dapat melihatnya lagi. “Bi, lu bakal nganter gue ke sini lagi kan?!”
teriakku dari bawah. Tapi dia tak menjawab. Mungkin derasnya air yang terjun
ini telah mengalahkan suaraku. Ya sudahlah, apapun itu kau telah berjanji untuk
tak meninggalkanku. Hei, kemana lo
sekarang?
***
Sudah beberapa malam aku mengurung diri di kamar demi
menghasilkan beberapa sketsa wedding dress yang mudah-mudahan bisa membantu
untuk setiap customer yang datang. Masih
ada satu kertas yang belum jelas bentuknya. Mungkin karena malam tadi adalah
puncak dari segala kebosananku. Ku pandangi bayanganku di cermin. Uh,
sembrawutnya tampangku pagi ini. Nampak jelas kantung mataku semakin menggelayut
dan menghitam. Tapi aku tak peduli. Padahal dulu aku begitu panik jika kantung
mataku semakin besar dan menghitam. Tapi itu dulu. Duluuuu… sekali. Jam dinding
sudah menunjukkan pukul 07.05, aku harus bergegas. Aku harus membuka butik
lebih pagi, karena ada klien yang ingin bertemu. Sudah ku minta untuk bertemu
diluar tapi apalah daya pelanggan adalah Raja, owner selalu harus mengerti
kemauan cutomernya.
Pukul 08.00 aku sudah
tepat di depan butik yang sudah dibuka oleh karyawanku. Kemarin aku
memang sudah meminta karyawanku untuk datang lebih pagi untuk membenahi butik.
Jadi aku tinggal mengecek beberapa bagian yang mungkin terlewati oleh
karyawanku. Masuk ke dalam ruang kerja membuatku langsung mengeluarkan beberapa
sketsa yang telah ku buat beberapa malam ini.
***
“Selamat pagi, mba Kayla ya? Ada yang bisa kami bantu?”
“Iya.. Mba Mona ya? Seneng banget akhirnya bisa
ketemu juga. Aku suka banget sama karya-karya mba. Temanku bilang juga
recommended bangetlah…” aku pun mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya.
“Terima kasih. Mau keliling sambil lihat-lihat dulu?”
tawarku mencoba seramah mungkin.
“hmm… boleh-boleh.”
Customerku ini sama seperti yang lainnya menanyakan
banyak hal dan mencoba beberapa gaun yang terpajang. Dari penampilannya ku
pikir dia sangat menyukai sesuatu yang detil. Karena tak satupun celah yang
dapat aku koreksi. Perempuan bernama Kayla ini sangat menarik. Hmm, lelaki
sepertikah calon pendampingnya itu? Aku jadi penasaran, beruntung sekali bisa
mendapatkan perempuan secantik ini.
“Mau ke ruang kerja saya mba? Di sana ada beberapa
sketsa yang belum saya eksekusi. Mungkin ada yang cocok?” tanyaku sambil
menunjuk lantai dua.
“Oh ya, tentu!” Jawabnya peuh semangat.
Kami berduapun menuju lantai dua yang hanya terdiri
ruang kerjaku dan beberapa gaun yang belum kuselesaikan detil-detilnya. Satu
persatu ku perlihatkan beberapa sketsa. Sampai dia melirik sketsa yang
tersembul dari balik buku catatanku.
“Yang itu apa mba?” Tanya dia sambil menunjuknya.
“Oh ini sketsa saya yang belum selesai..” jawabku
singkat.
“Boleh saya lihat?”
“Oh, ya.. silahkan..” Aku pun memberikan sehalai
kertas dengan coretan yang masih kasar itu. Awalnya memang aku tak ingin
memberikannya karena aku tak yakin dengan coretan di kertas itu. Tapi cutomer
adalah Raja. Maka aku tak mampu menahannya.
“moonbow? “ tanyanya sambil mengerutkan dahinya.
“Ahh, itu hanya coretan-coretan tidak penting mba.
Maaf…” aku mencoba menjawab sehalus mungkin menutupi detak jantungku yang
menjadi cepat.
“Oh.. kupikir moonbow itu memang ada… hehee masa ya
malam-malam ada pelangi. Kalo memang ada aku kepingin tuh ngeliatnya…”timpalnya
masih sambil memandangi sketsaku dengan serius. Ada mba, ada! Aku sendiri yang melihatnya. Tapi bersama dia. Dia yang
tak pernah ada kabarnya lagi. Seperti moonbow yang tak pernah kulihat lagi. Ah, Tapi dia tak perlu tahu urusan
pribadiku. Jadi cukup ku beri senyum saja, nampaknya dia sudah puas.
Tak lama kemudian dia mengembalikan sketsa itu kepadaku
dan berkata “I want it”
“Tapi sketsa ini belum utuh dan belum saya pikirkan
apa yang akan membuatnya menarik” jawabku sedikit panik. Karena aku memang
benar-benar belum mendapatkan ide untuk sketsa ini.
“Gak apa-apa. Aku percaya pada hasil tangan mba. Lusa
aku tunggu hasil utuhnya ya mba. Nanti perlihatkan padaku..” jawabnya mencoba
menenangkan wajahku yang mungkin sudah terlihat panic.
“Baik Mba,”
“Sori mba, aku ga bisa lama. Ada hal lain yang mau
aku urus. Mba pahamlah yaa… hehee” ujarnya sambil nyengir-nyengir antara malu
dan bahagia.
“Oke mba. Terima kasih sudah mempercayakannya kepada
kami..”
“Sama-sama, sampai ketemu lusa ya…”
***
Ada hal yang tak ku mengerti setelah bertemu lagi
dengan customerku ini. Setelah akhirnya fix ia setuju dengan sketsaku yang
telah ku selesaikan. Mengapa sekan-akan aku melihat diriku sendiri dalam
dirinya?
Dari beberapa obrolan yang lalu aku menangkap
kekonyolan. Seakan aku berbicara pada diriku sendiri. Selain karena tubuhnya
yang tak jauh beda denganku, dia terlalu aku. Ya, dia terlalu aku! Mana mungkin
bisa? Kesukaan yang sama, warna favorit yang sama, makanan yang sama, kebiasaan
yang sama. Kami pun sama-sama sempat kaget dibuatnya dan akhirnya tertawa
masing-masing. Ah, mungkin dulu Tuhan sedang bingung menciptakan aku sehingga
aku seakan-akan di copy dari orang lain. Entah aku atau dia. Hahaa…
Pernikahannya tiga bulan lagi. Aku harus segera menyelesaikan demi kepuasan
kembaranku eh customerku itu.
***
“Bi.…”
“Lo sadar kan Dee, gue gak bisa nunggu lama. Besok
gue tetep harus berangkat.”
“Tapi—“
“Kalo lo tetep ga bisa mutusin jawabannya. Gue hargai
itu. Mungkin pilihan itu bagi lo memang ga mudah. Karena gue belum tentu jadi
yang terbaik bagi lo. Gue udah cukup lega ngungkapin semuanya meski gua mungkin
ga pernah akan tahu jawabannya. Yang penting gue udah bilang. Jadi..” Abi
memegang tangan Dee. “Ikhlaskan kepergian gue. Ga perlu ada perdebatan lagi. Lo
tetep bisa jadi temen baik gue.” Abi pun melepas tangan Dee yang sangat dingin.
Meski dari lubuk hatinya ia tak pernah ingin melepaskannya. Dee adalah sahabat
juga cintanya. Apa yang diungkapkan Abi minggu lalu jelas membuat Dee
terhanyut. Apalagi saat itu orang yang dia gebet selama ini juga menyatakan hal
yang sama pada Dee. Antara mas Bayu yang selama ini digebetnya dan Abi yang
sejak kecil menemaninya yang tidak lama lagi akan pergi mengejar cita-citanya.
Dua orang yang sama-sama Dee sayangi. Dee memandang moonbow lagi, mungkin untuk
yang terakhir kalinya bersama Abi.
***
“Gimana mba? Cocok? Apa ada yang mau diperbaiki
lagi?”
“wow wow wow.. ini baguss bangett mba Dee… aku suka
bangett…”
“Ah, syukurlah.. silahkan dicoba mba..”
“oke”
Ku pandangi cutomerku yang mulai berjalan kesana
kemari dengan gaun buatanku itu. Entah mengapa aku jadi membayangkan gaun itu
yang menempel di tubuhku. Duduk menanti seseorang yang menjemputku setelah
terdengar ijab qobul. Tersadar cutomerku ini sudah berpakaian seperti asalnya
lagi. Lamunanku terputus.
“Mba, terima kasih loh sudah mau membuatnya
untukku..”
“Sama-sama mba..”
“Coba deh mba yang pake?”
“Hah?!” WHAT!
Apaan sih! Itu adalah permintaan yang di luar kuasaku. Aku tentu saja
menolaknya.
“Iya, sepertinya gaun itu juga cocok untuk mba..”
“Ahh.. mba ini. Saya memang menyukai gaun ini. Entah
mengapa saya begitu hati-hati dengan gaun ini. Mungkin karena mba yang pesannya
sangat cantik dan baik yaa..” kami berdua tertawa…
“Terima kasih banyak telah mempercayakan wedding
dressnya kepada kami..”
***
Hari ini waktunya fitting baju untuk customerku itu.
Kupandangi lagi wedding dress yang selama ini menguras tenaga dan pikiranku
ini. Entah ada apa dengan gaun ini hingga aku selalu ingin memandanginya dan-
mencobanya. Hanya saja aku tak pernah mau mencoba setiap gaun yang kubuat.
Lagipula jika aku hobi menggunakannya rasanya konyol sekali.
“Hallo mba Mona, maaf aku agak terlambat ya? Biasalah
kena macet. Eh, itu-itu gaunnya?”
Aku mengangguk dan dia pun mendekati gaun miliknya
dan menyentuhnya. “Indah sekali mba… mba ini memang kece banget deh.. sukaa..
sukaa sekali!”
“Syukurlah… silahkan dicoba mba…”
“Hmm… mba belum nikah juga kan?”
Jleb! Kenapa
tiba-tiba dia bertanya seperti itu?
“hehee.. iya mba.” Jawabku singkat dan mencoba
menghindari tatapannya.
“Aku kok penasaran ya kalo mba pake punyaku kayaknya
bagus juga…”
“loh, tapi kan itu pesanan mba… saya ga bisa memakai
gaun pesanan cutomer…”
“ini kan aku yang minta mba, yah?”
“tapi mba- saya tetap ga bisaa…“
“aku gak apa-apa kok… pakai yah.. ayo.. nih..”
Dorongan apa ini ya Tuhan… mana mungkin aku mencoba
gaun milik cutomerku sendiri… butuh waktu sekian menit bagiku untuk mampu
memakai gaun milik cutomerku ini. Lagi pula mengapa ia begitu memaksa? Aku
terpekur sejenak dan berusaha berpikir positif. Mungkin dia ingin membagi
kebahagiaanya padaku. Ah, apapun akan aku lakukan untuk membahagiakan
cutomerku. Aku pun segera mencoba gaun buatanku itu. Aku memandangi diriku
sendiri di cermin. Inikah aku? Apabila kelak aku menikah? Aku jadi terrsenyum
sendiri. Kapan pula aku akan menikah. Mengingat dulu aku pernah menyia-nyiakan
orang yang menyayangiku dengan tulus. Terdengar namaku dipanggil dari luar. Ah,
aku terlalu lama disini. Mungkin dia sudah ingin melihatku. Aku pun membuka
tirai dan tersenyum singkat menatap kaku sorot mata yang sama dengan orang yang
pernah menemaniku melihat moonbow.
“Hai, Dee…”
***
Komentar
Posting Komentar