Untukmu Mama #Dear Mama
Dear
Mama
Tidak banyak kata diantara kami.
Bukan berarti tidak ada ucap. Kata itu hadir dikala hati sudah tak sanggup
menahan diri untuk menggenggamnya sendiri. Terkadang kata itupun hadir ketika
mata kami saling bicara. Bahwa ada sesuatu yang ingin aku ceritakan atau ada
hal yang ingin beliau ceritakan.
Menjadi anak pembuka menjadikan
aku anak yang begitu dekat dengan Mama. Maka jadilah aku anak yang penuh
kemandirian dan dipercaya penuh untuk mengetahui segala hal yang terjadi dalam
keluarga. Aku tahu kala beliau menahan perih, kala beliau merasa bangga, kala
beliau merasa bahagia, kala beliau rapuh. Aku tahu semuanya. Di sinilah aku
memandang beliau sebagai Mama yang penuh cinta, sayang, sabar, juga bijaksana
meskipun semua itu tak pernah beliau tampakkan secara langsung. Mama terlalu
jaim untuk memperlihatkan apa yang beliau ingin ungkapkan. Kemanapun Mama
pergi, aku selalu ikut. Dan kemanapun aku ingin pergi, hampir selalu Mama yang
menemani. Meskipun ketika dewasa aku sudah memiliki teman dekat, Mama tetap yang
menjadi andalanku. Inilah Mamaku…
Tahun 1989…
Telah lahir secara normal seorang
aku. Anak yang dinantikan oleh kedua keluarga besar. Dimulailah kehidupan
seorang bernama Sri Paridayanti berubah status panggilan menjadi Mama. Itulah Mamaku.
Mamaku terlahir tujuh bersaudara. Mamaku juga bukan wanita dengan pendidikan
tinggi. Mamaku hanya seorang lulusan SPG di jamannya. Sekolah Pendidikan Guru.
Sekolah yang tak banyak dipandang berpotensi besar pada masanya. Padahal
sekarang begitu banyak orang yang berebut ingin menduduki profesi ini. Tapi
kini Mamaku mampu mengejar ketertinggalannya. Kini Mama menjadi satu-satunya
anak yang mengenyam pendidikan sarjana diantara yang lainnya. Meski harus terus
merangkak untuk menggapainya karena usia dan tenaga sudah tak lagi sama. Hanya
semangat ingin melihat anak-anaknya sekolah tinggi yang dijadikan tumpuan
ketika beliau mulai tertatih. Terima kasih Mama.
Tahun 1991 - 1994
Mama hijrah ke Bogor. Menjalani
kewajibannya berperan menjadi Ibu sekaligus isteri yang taat pada suami. Saat
itu Bapak bekerja di Jakarta. Mamapun melepas semua keterkaitannya dengan
Sekolah di kampung sebagai guru honorer. Demi mengurusi suami dan aku yang
masih kecil. Sebagai Ibu rumah tangga. Saat kedamaian keluarga ini tengah tercapai,
Tuhan menguji keluarga kecil ini. Bapak terkena PHK dan otomatis ini berimbas
kepada keuangan keluarga. Saat itu aku tak menyadari apapun karena aku masih
kecil sekali. Tapi bisa kubayangkan apa yang terjadi saat itu. Karena Mama
menceritakan semua hal itu padaku sekarang. Dimana Mama harus memutar otak demi
membantu Bapak.
Bangun saat ayam masih asik
dengan tidurnya adalah hal biasa. Membuat gorengan untuk dimasukkan ke kantin
kantor Paman, menyiapkan sarapan untuk aku dan Bapak. Merapikan rumah. Siangnya
mengikuti kursus menjahit. Mama sering merasa terharu ketika menceritakan hal
ini. Entah karena merasa bersalah karena harus meninggalkan aku yang masih
berumur tiga tahun di rumah sendirian ketika beliau harus berangkat kursus.
Entah karena bangga karena saat itu aku bukanlah anak rewel yang mudah menangis
ditinggal Mamanya. Katanya beda sekali dengan anak-anak jaman sekarang. Waktu
itu Mama cuma cerita, “Alhamdulillah.
Anak Mama ga ada yang nyusahin. Waktu Mama berangkat kursus, Mama kan ninggalin
kamu sendiri. Mama siapin cemilan buat kamu dan mama bilang nonton aja ya ini
cemilannya… Mama mau pergi dulu. Kamu ngangguk-ngangguk aja. Taunya pas Mama
pulang kamu udah tidur di depan tv” dan aku cuma bisa menyimaknya sambil
melihat mata Mama yang mulai berkaca-kaca. Dalam hati aku berkata Aku juga bangga dengan Mama yang selalu
sabar mendidik anaknya. I love you Mom.
Selama Mama kursus, aku selalu
menjadi objek percobaannya. Jadilah aku memiliki baju dengan beragam model.
Sampai akhirnya banyak tetangga yang menanyai bajuku. Dan ketika mereka tahu
Mama yang menjahitnya, maka ramailah orderan jahitan Mama. Tak perlu waktu
lama, orderan Mama semakin banyak. Sampai tak sadar bahwa sudah ada adikku
bersarang di rahimnya selama tiga bulan. Berita baik ini pun diketahui akibat
Mama jatuh pingsan di pasar ketika sedang menunggui jahitannya yang sedang di
obras. Beruntungnya Tuhan selalu melindungi Mama dari orang-orang jahat. Mama
ditolong pedagang jeruk dan ketika sadar tak satupun ada yang hilang dari tasnya.
Proses-proses inilah yang mengantarkan
Mamaku ke ujung penantiannya yang sudah lama beliau lupakan. Saat 14 November
1994 takdir berkata lain. Mamaku harus berganti profesi sesuai dengan bidang
kehliannya. Mamaku menerima surat pengangkatan PNS ketika aku ingin merayakan
ulang tahun di rumah Nenek di Sukabumi. Surat yang sudah berminggu-minggu
tersimpan rapi oleh Kakek dan tak pernah ia buka. Bersyukur surat itu masih
berlaku dan hasilnya Mama harus bolak balik mengurus pengangkatannya sendiri
dalam keadaan berbadan dua tanpa ada yang menemani. Karena Bapak kini bekerja
menjadi sopir angkot di Bogor. Dari situlah aku tak pernah kembali ke Bogor.
Mama bilang, ini rezeki anak. Alhamdulillah meskipun dulu honor seorang PNS tak
seberapa tapi hasilnya kini bisa dinikmati. Mimpinya memiliki anak seorang
sarjana sudah kupenuhi dalam waktu yang pas! Empat tahun sesuai dengan batas
yang ku inginkan. Dan kini adikku masih dalam proses menjajaki perkuliahan.
Sebentar lagi mimpinya akan segera menjadi kenyataan. Anak-anakmu sarjana Mam..
Tahun 2000…
Mama harus dioperasi. Suatu
penyakit timbul di bagian tubuhnya yang tak pernah terbayangkan. Operasipun
harus segera dilaksanakan. Aku pun dititipkan kepada sanak saudara selama di
rumah. Sampai akhirnya aku datang menjenguk Mama selepas operasi. Apa yang
kalian bayangkan? Aku hanya bisa melihat Mamaku terkulai lemas. Rasanya ingin
memeluknya dan menangis sejadi-jadinya. Tapia apa yang mama ucapkan? “Teh, tidur sama siapa di rumah? jangan susah
makan yaa… Si Adek jagain..” Rasanya ingin menangis sejadi-jadinya. Dalam
kondisi sakitpun masih sempat saja mengkhawatirkan aku. Aku yang seharusnya mengkhawatirkanmu Ma! Dan aku hanya bisa diam
menahan segala gejolak yang ada di hati. Sepulang dari Rumah Sakit, aku
mengurung diri di kamar. Melepaskan segala hal yang tak mampu aku ungkapkan
kepada Mama tadi. Aku terlalu malu ntuk mengungkapkannya. Karena aku pasti akan
menangis. Aku tak mau Mama melihatku menangis. Aku ingin Mama segera sehat dan
pulang kembali ke rumah. Air wudhu pun menjadi satu-satunya cara untuk
mendamaikan hati memohon kesembuhan untuk Mama.
Tahun 2011 - 2015…
Aku merasakan kekhawatiran
seorang Mama ketika harus mengurusi pernikahanku. Maka dari itu aku hanya ingin
Mama santai dalam menjalaninya. Aku pun tak menuntut apa-apa padanya. Aku
menurut atas semua yang diatur Mama. Puncaknya adalah ketika acara siraman.
Momen tersebut adalah momen dimana aku melihat Mama dan Bapak menangis diwaktu
yang bersamaan. Aku pun tak mampu menahan deraian air mata ini. Sungguh selama
ini, kehadiranku telah merepotkannya. Tapi mereka tak pernah mengelukan hal
itu. Maafkan anakmu ini Ma, yang selalu
membuat jengkel…
Mamaku cantik. Bahkan lebih
cantik Mama dibandingkan aku. Ini terbukti dari banyaknya orang yang berkata
seperti itu. Sampai aku sering dibilang adik Mama ketika sedang shopping bersama. Dulu sih aku jelas
bĂȘte, tapi sekarang tentu saja tidak. Aku bangga memiliki Mama yang tetap catik
diusianya kini yang sebentar lagi menginjak setengah abad. Kelak aku harus
seperti Mama.
Mama adalah wanita hebat. Mampu
menjadi seorang yang bijaksana dan penyabar yang mampu memotivasi anak-anaknya
ketika anaknya terjatuh. Aku masih ingat kalimat yang haya bisa di ungkapkan
lewat pesan singkat oleh Mama saat aku berulang tahun “selamat ulang tahun.
Didoakan semoga sehat, mudah rezekinya, solehah, dikuatkan imannya kepada Allah.”
Ini nyata, bahwa ketika aku masih tinggal bersama Mama, aku tak pernah
mendapatkan ucapan selamat ulang tahun, seakan lupa. Tapi ketika aku sedang
tidak bersamanya, Mama selalu mengirimiku ucapan lewat pesan singkat. Mungkin
ketidak mampuanku mengungkapkan kasih sayang itu memang turun dari Mama.
Mama tahu aku bukan orang yang mudah
menahan tangis ketika apa yang aku harapkan tak sesuai dengan yang kuinginkan.
Mama tak pernah menanya-nanyai skripsiku ketika aku mengalami masalah dalam
menyusun skripsi. Mama tak pernah khawatir dengan keadaanku yang belum berbadan
dua ketika orang lain terus menerus merongrong menanyaiku dengan
pertanyaan-pertanyaan yang sama. Mama mampu menguatkan aku dengan santainya
lewat telepon. Meski aku tahu pasti, hal yang sama juga terjadi padanya dimana
beliau bekerja. Menanyakan anaknya yang pada kenyataannya belum dipercaya untuk
di amanahi keturunan oleh Tuhan.
Mam, terima kasih atas semua
kasih sayangmu yang tak terhingga. Tentu saja takkan mampu aku balas
seluruhnya. Terima kasih telah menjadi Mama yang luar biasa sabar mendidik aku
dan Adek. Sabar menghadapi kami yang selalu bertengkar. Terima kasih selalu
menjadi pendengar setiaku dan pemberi solusi terbaik. Terima kasih karena selalu
mengerti dan memahami kami. Maafkan kami yang belum bisa menjadi anak yang
membanggakan keluarga. Maafkan kami yang masih seringkali membuat kesal Mama. Engkau
lebih dari seorang Mama. Engkau Mama, teman, sekaligus nyawa dalam hidupku. Meski
aku tak pernah mengungkapkan semua ini (karena aku pasti akan selalu menangis)
Mama harus tahu, aku mencintaimu Mam. I
love you…
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co
Komentar
Posting Komentar