My Name Is Isyana


Aku adalah seorang jurnalis sebuah stasiun tv swasta. Pekerjaan ini menuntutku bekerja lebih disiplin, cermat, dan teliti. Tuntutan ini memang sangat menantang bagiku yang sesungguhnya jauh dari segala sikap itu. Aku yang dulu dikenal ceroboh, tukang ngaret, kini telah terbentuk kuat akibat tamparan keras dari pekerjaan ini. Sesekali pekerjaan ini menuntutku untuk awas 24 jam. Karena sebuah berita besar bisa datang kapan saja. Lelah? Jelas sangat lelah. Tapi aku menikmatinya. Menikmati setiap proses hingga tercapainya kepuasan ketika sebuah liputan berhasil disiarkan.
Keliling dunia, meliput konferensi internasional, mewawancarai orang-orang terkenal. Tak pernah terbersit olehku, apa yang telah diperoleh sekarang adalah bukti bahwa hobi menonton berita sejak kecil berimbas pada kehidupanku. Aku begitu berterima kasih kepada Ayah yang selalu mengajakku sedari dulu untuk nonton berita bersama. I love you Ayah.
Menjadi seorang wanita karir dewasa ini memang menjadi sebuah impian hampir semua wanita. Bisa melakukan apapun yang ku suka adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Bisa membangun karir dalam keluarga adalah suatu kebanggaan bagiku. Juga bagi keluarga besarku. Siapa yang tidak bangga ketika anaknya bisa mewawancarai orang nomor satu di Negeri ini? Bisa meliput bencana tsunami di Aceh meski mereka jadi harap-harap cemas menunggu kabar dariku. Belum lagi meliput acara-acara internasional di luar negeri. Bisa jadi tur sambil bekerja. It’s so wonderful!
xxx
Tak terasa sisa umurku di dunia ini semakin berkurang. Tapi aku belum mampu menyempurnakan ibadahku. Menyempurnakan impian orang tuaku. Tiga puluh lima bukanlah umur ideal lagi bagi perempuan. Tapi apadaya aku terlanjur asik dengan kesibukanku sendiri hingga aku menyepelekannya. Maafkan aku Tuhan.
Dalam kegalauan yang melanda. Sudah pula beberapa orang pria yang dikenalkan padaku, aku masih tak mampu memilih. Hingga suatu malam, kala aku bercengkrama berdua saja dengan Tuhan, aku mengadu. Dan ketika itu,  aku sepakat. Aku akan menerima pinangan siapapun besok yang datang ke rumah. Aku bersedia jika itu memang pilihan dari-Mu.
xxx
Hallo Isy?”
“Iya Bas, ada apa pagi-pagi nelpon?”
“Isy, aku tahu kita memang teman sekolah. Aku tahu karirku tak semulus karirmu yang begitu melejit. Tapi aku sudah menyimpan rasa ini sejak lama. Bolehkah aku meminangmu?”
Masih dalam keadaan antara sadar dan tidak, tapi pagi hari ini Tuhan membayar lunas doaku.
xxx
            Menikah dengan sahabat sendiri memang tak pernah terbayangkan olehku. Bastian adalah sahabatku sejak SMP. Dia memang sedikit lebih kalem dan sering mengalah. Inilah yang membuat persahabatan kami awet hingga akhirnya dia jadi suamiku yang sangat pengertian dengan kesibukanku. Dia sebagai karyawan swasta dan aku sebagai jurnalis senior di stasiun swasta. Ini membuat intensitas pertemuan kami di rumah begitu jarang. Tentu saja karena aku lebih sering bekerja di luar batas waktu dan wilayah. Tapi Bastian tak pernah mengeluhkan itu semua. Dia mendukung sepenuhnya semua hal yang membuatku bahagia.
            Hingga suatu hari ketika kami sedang menikmati saat bersantai bersama. Terjadi sebuah percakapan singkat yang pada saat itu belum aku sadari betul maksud dari perkataannya.
“Bas..” panggilku dengan lembut.
“Iya..” jawabnya singkat sambil memelukku hangat.
“Aku masih ga nyangka loh kamu jadi suami aku.. heheee…” candaku sambil membayangkan semua hal yang telah terjadi diluar nalarku.
Bastian tersenyum. “Kamu kini sudah jadi tanggung jawabku. Aku akan berusaha menjadi yang terbaik untukmu. Maafkan aku yang belum bisa melesat seperti karirmu tapi bolehkan aku meminta satu hal?”
“Apa Bas?” tanyaku menyelidik. “Jangan minta yang macam-macam yaa.. hahaa”
Lagi-lagi Bastian hanya membalas dengan tawa renyahnya kemudian dia pun menjawabnya dengan tatapan sarat makna.
“Aku, hanya ingin kamu bisa mendampingiku setiap hari. Aku sangat mencintaimu Isyana…” dia pun mengecup manis keningku. Tak terukur seberapa besarnya kebahagiaan yang kudapat. Tanpa ku serap dengan baik perkataannya, aku pun langsung menjawab “aku akan selalu disisimu…”
xxx
Siang ini kesibukan masih memenuhi hari-hariku. Langkah kaki ini bagai tak pernah gontai termakan waktu. Sambil memegang berkas-berkas yang baru saja kuperiksa, aku sempatkan mengabari suamiku tercinta.
“Hallo Bas, kayaknya aku ga bisa pulang deh. Aku besok diminta gantiin Safira untuk wawancara dengan perdana menteri Australi! Kesempatan bagus bangetkan!” cerocosku tanpa memberi kesempatan dia untuk menjawab sampai aku selesai berbicara. Tapi aku hanya mendapatkan jawaban yang sama flat-nya seperti hari-hari yang lalu.
“Oh, ya? Bagus Isy… lanjut aja. Aku gak apa-apa. Lagipula besok kayaknya aku juga harus lembur di kantor. Take care Isy…”
“Makasih sayang…”  dan jawaban yang sama pula yang kuberikan. Teleponpun terputus. Tiba-tiba rekan sebelahku memecah fokusku.
“Isy, lo bener ga apa-apa gak pulang?” tanyanya agak menyelidik.
“Iya.. woles aja laki gua mah.. hehee” jawabku santai dan sedikir berbangga hati karena memiliki suami yang sangat sabar.
“Hmm… Kasian ya laki lu, ditinggal-tinggal terus”
Jleb! Aku terpaku bagai tersambar petir. Terpaku oleh ucapan rekan kerjaku sendiri. Isteri macam apakah aku ini!
xxx
Di bawah senja 18 November 2015 aku menguatkan diri dalam sandaran-Mu. Mungkin inilah jalan yang tepat untuk kami. Kali ini aku mencoba mengalah dari segala impianku. Dia yang kini Imamku yang akan menjadi mimpiku ke depan. Imam yang kelak akan menuntunku ke Syurga yang kami rindukan bersama. Sudah sewajarnya aku melangkah bersamanya, Bukanlagi berjalan sendiri-sendiri. Karena kini aku telah menjadi tanggung jawabnya. Aku akan ada disini selalu bersamamu. Kita tak dapat berdiri dan berjalan sendiri-sendiri lagi.
xxx
Percakapan malam hari di bawah bulan bulat penuh dalam rayuan merdu jangkrik. Aku duduk memandang langit yang indah. Sampai Bastian menghampiriku dan duduk di sampingku.
“Akhir-akhir ini kok aku perhatiin kamu ga ngantor sayang? Kenapa?” tanya Bastian halus.
“Memangnya kamu ga seneng aku ada di rumah terus…” jawabku manja.
“Eh, maksudnya bukan itu. Aku malah seneng banget kamu ada di rumah terus. Aku selalu rindu isteriku yang menyambut kepulanganku…”
“Tenang aja Bas… aku bakalan ada setiap hari buat kamu” ujarku santai.
“Hmm… maksudnya?” Alis Bastian tampak naik satu.
“Iyaaa… aku bakal ada di rumah terus. Melayani kamu sepenuhnya dan menyambut kamu sepulang kerja”
“Kok? Serius?” wajah Bastian semakin penuh Tanya.
“Ya seriuslah… aku kan udah resign dari kantor”
“Hah! Kok kamu ga bilang-bilang?!” guncang Bastian pada tubuhku.
“Kenapa gitu? Kamu kecewa aku berenti kerja?”
“Bukan gitu… aku kok ga tahu apa-apa.. ini yang buat aku bingung. Kenapa? Ada masalah di kantor?”
“Ga.. aku cuma mau fokus aja dengan kita. Toh kalau kamu bener-bener sayang aku, kamu ga bakalan nelantarin aku dan buah hati kita kan… heheee”
“Tentu aja aku akan berusaha terus untukmu dan.. apa? Tadi kamu bilang apa?”
“maafin aku ya, yang telat ngartiin maksud perkataan kamu waktu itu. Oh, ini loh buah hati kita… I love you Bas…” jawabku sambil mengelus perutku sendiri.
“Isy, kamu HAMIL?!”
xxx
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang” #KeputusanCerdas yang di selenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lalat Dalam Kesehatan ???

Mimpimu, cita-citamu bercerita.. ^^

Pratugas day 24