Gadis Kecilku #TheParagraph8

Entah perasaan apa yang ada dalam diri ini. Tubuhku seperti melayang, ringan, tak bernyawa. Pikiranku bebas  bergerak seperti terbawa maunya arah angin kemana. Hari ini begitu terasa kosong. Aku tak dapat mengendalikan seluruh bagian tubuhku. Dada ini seperti meringis, menahan sesuatu. Sesuatu itu seperti kotak besar yang berusaha masuk ke lemari kecil. Mendesak memaksa agar kotak itu bisa masuk. Dan aku merasa lemah menghadapinya. Biru. Sepertinya warna yang kurasakan hari ini memang biru. Aku benar-benar lemah.
xxx

Hari ini aku menyediakan makanan favoritnya. Pisang goreng. Ihfa hanya menyukai pisang goreng, meskipun sehari-hari aku selalu memaksanya untuk memakan makanan yang lain. Sebagian ada yang masuk, namun adapula yang dimuntahkan. Aku menyimpan sepiring penuh pisang goreng di kamarnya. Di kamar tempat dia biasa bermain sendiri. Sebenarnya tempat biasa dia menyendiri. Karena kamar ini akan selalu terkunci jika kami semua berangkat bekerja. Kami tak pernah bermaksud mengurungnya. Tapi tak pernah ada satupun pengasuh yang betah. Maka jalan ini pun aku ambil. Ah, adapun karena hari ini libur aku ingin selalu bersamanya. Gadis kecilku yang cantik. Kulitnya putih, rambutnya ikal, sama denganku. Matanya sama bulat dengan ayahnya. Harusnya sekarang kau sudah bisa masuk sekolah dasar nak... kataku dalam hati sambil terus mengamati segala tingkah Ihfa. Berusaha untuk bisa ikut dalam dunia yang dimilikinya. Tapi Ihfa selalu menolak.
xxx

Siang ini kami semua telah berkumpul di ruang tengah, dengan berbagai balon warna-warni di dinding. Pita-ita besar dan kecil saling membelit pada balon-balon itu. Sudah tampak ramai lah, meski hanya kami. Aku, suamiku, ketiga anakku, menantuku, dan ketiga cucuku yang masih bayi. Hari ini anakku yang ketiga menginjak usia dewasa. Tapi hatiku tetap mencelos ketika melihat dirinya tak menampakkan senyum sedikitpun kepada kami. Bahkan tidak pula pada kue bulat berbentuk doraemon dengan lilin yang berjumlah 17. Padahal aku sendiri yang membuatnya dengan sepenuh hati. Sampai akhirnya kami pun bernyanyi ‘tiup lilin’ dan apa yang terjadi? Dia tersenyum! Dia tersenyum sebentar. Lalu...

“PRANG”

Kami semua terperanjat kaget melihatnya. Kue yang ku buat telah jatuh ke lantai. Mengotori segala benda yang ada di sekitarnya. Dia tertawa sepertinya puas namun tak keras. Kemudian raut wajahnya kembali seperti semula. Dingin tak peduli. Gisa dan Harsa mencoba menghibur tatapanku yang terlihat jelas kecewa. Mereka mencoba menggodai Ihfa adik kecilnya dengan mencolekkan krim pada kue yang jatuh itu pada kedua pipi adiknya. Tapi seketika itu pula Ihfa menolak. Dia mencoba menepis tangan Gisa dan Harsa. Dia meraung. Dia marah. Bahkan dia mencoba melemparkan gelas-gelas plastik yang ada di dekatnya ke arah kami semua. Tapi Alex sudah tak mampu mengendalikan emosi. Dia memegang erat kedua tangan Ihfa dengan begitu keras. Aku mencoba menarik tangan suamiku itu. Tapi apa daya, dia terlanjur mendorong tubuh Ihfa sampai ke dekat rak TV. Ihfa tersungkur. Tergolek lemas. Memeluk erat kedua kakinya. Meringis kesakitan. Aku langsung meraih Ihfa. Tapi Ihfa menolak. Dia memukulku cukup keras. Dia menangis tanpa suara.

“Ihfa... anakku...” aku menangis perlahan. Sambil mengutuki diriku sendiri. Ini semua salahku. Andaikan waktu itu aku tak meminum obat-obat itu. Gisa dan Harsa merangkulku. Dan Alex pergi meninggalkan kami.
xxx

Waktu itu gerimis tipis. Tapi aku ingin tetap melindunginya. Dia yang sedang tinggal di rahimku sekarang. Sebuah payung berwarna kuning berenda ku buka. Kemudian aku meneruskan perjalananku menuju rumah. Hanya saja saat itu samar-samar aku melihat seseorang yang ku kenal sedang merangkul wanita berparas cantik dan mulus sambil memayunginya dengan mesra. Hatiku bergetar sangat hebat. Seakan-akan perutku ini ikut berguncang. Bukankah itu mas Alex? Suamiku! Aku berusaha mengikuti arah mereka pergi. Dan aku melihatnya masuk ke sebuah rumah mungil di persimpangan jalan. Aku hanya bisa membisu dan melanjutkan perjalanan pulang.

Sesampai di rumah aku hanya diam. Membisu dengan segala tekanan yang hadir di kepalaku. Aku berusaha berpandangan positif. Mungkin saja itu kerabat jauhnya yang tak aku kenal. Sampai malam tiba, mas Alex tak kunjung pulang. Dan aku hanya bisa meringis sendiri. Usiaku sudah 38 tahun. Apakah karena aku sudah terlalu tua untuknya...

Ternyata Tuhan berkehendak lain, Tuhan menginginkan aku melihat kejadian itu lebih jelas. Tanpa sengaja aku sering sekali memergokinya bersama wanita itu lagi. Memasuki rumah kecil itu lagi, sampai akhirnya telingaku panas sendiri mendengar para tetangga mengoceh akan dia. Apa yang salah padaku? Hingga ia tega menduakan aku yang sedang hamil tua!

Alih-alih pertengkaran hebat akhirnya sering terjadi diantara kami. Kami pun berpisah hampir selama 3 bulan lamanya. Kepalaku selalu terasa berat. Stress. Dan selama itu pula aku habiskan hari-hariku dengan terus menerus meminum obat penenang. Lama kelamaan tubuhku menjadi kurus. Seakan-akan lupa bahwa padahal aku sedang tak hidup sendirian. Ada dia yang sedang bersamaku. Sampai akhirnya dia lahir tanpa adzan ayahya, dia lahir secara prematur dengan bobot yang sangat ringan. 1,2 Kg dengan panjang 31 cm. Ku namakan Ihfa.

Telah ku usahakan dengan segala cara agar ia bisa tetap hidup. Karena aku merasa bersalah atas dirinya selama di dalam rahim ini. Aku merasa menjadi Ibu yang sangat bodoh, dan tak bertanggung jawab. Aku mengutuki diriku sendiri tanpa berharap  mas Alex kembali lagi.
xxx

Tuhan ternyata mempercayakan Ihfa untuk tetaphidup bersamaku. Akhirnya Ihfa mampu bertahan, dan sudah boleh dibawa pulang. Aku pun mendapatkan kejutan sesampainya di rumah. Anak-anakku yang lain sedang menghadapi Ayahnya. Anak-anakku itu sudah dewasa, mereka yang membantuku menyelesaiakan perkara bodoh yang pernah Ayahnya perbuat. Akhirnya aku pun memaafkannya namun tanpa berharap lebih lagi padanya.  Cukup anak ku ini saja tetap memiliki sosok Ayah di kemudian hari.

Tapi lagi-lagi Tuhan mengujiku. Aku menangkap hal-hal ganjil pada diri Ihfa. Ihfa sering sekali mengalami kejang-kejang. Panas tinggi. Sampai akhirnya di usia tiga tahun  dia tak mengalami kemajuan dalam berkomunikasi. Matanya tak pernah fokus terhadap mataku, apa lagi mata-mata yang lain. Sepertinya dia memiliki dunianya sendiri. Bahkan saat ku panggil namanya, ia tak pernah menengok. Aku dan mas Alex pun berinisiatif untuk berkonsultasi pada dokter anak. Sampai akhirnya aku merasa terkena goncangan gempa bumi berskala 8,7 richter. Setelah berkali-kali uji laboratorium, dokter menyatakan Ihfa positif autis. Aku tak mampu bertahan. Aku memeluk Ihfa kecilku meski Ihfa meraung, menolak pelukanku.
xxx

Malam itu, aku memandangi dia yang telah tumbuh dewasa yang bergerak semuanya. Menyentuh segala benda yang ada di hadapannya. TV, koran, bantal, botol minumnya dengan raut wajah seperti tak hidup. Kemudian  satu per satu ia singkirkan yang menurutnya itu tidak penting. Dia meraih guling Doraemon kesayangannya yang berada di sampingku.  Menariknya dan membiarkan kepalanya jatuh di atas guling itu. tangannya menggapai-gapai ke belakang seperti mencari sesuatu. Tapi aku mengerti. Dia mencari-cari rambutku. Aku sudah paham betul gerak-geriknya. Dia akan merasa nyaman beristirahat ketika ada guling kesayangannya dengan rambutku yang ia remas-remas. Dia begitu berharga. Dia adalah bagian dari hidupku.
“Siapa yang akan merawatmu nanti nak? Maafkan Ibu...” gumamku sambil membereskan mainan-mainan di sekitar Ihfa. Gisa dan Harsa saling berpandangan membisu. Biru.
mawarlibra70.blogspot.com

xxx



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lalat Dalam Kesehatan ???

Mimpimu, cita-citamu bercerita.. ^^

Pratugas day 24