Juni dan Juli


akbaranbu.blogspot.com

Denting yang bunyinya kelu. Karena aku tak pernah tahu mengapa aku dilahirkan. Mengapa aku masih bisa bertahan hidup. Meski masa selalu menguntit sejak ramai menjadi sepi yang tak terbilang. Aku pun tak tahu, mengapa waktu mempertemukan aku denganmu. Denganmu yang hampir tergapai indah meski akhirnya melemah dan berusaha mengikhlaskan dirimu demi cahaya yang tak akan pernah redup. Karena aku hanya lilin yang apinya mudah tergoyah angin dan sewaktu-waktu bisa mati. Karena ini murni kesalahanku. Sudah aku sebutkan bahwa aku hanya lilin yang mudah meleleh yang apinya mudah tergoyah angin. Tapi mengapa kamu begitu keukeuh dengan keputusanmu. Tapi ini bukanlah keputusanmu. Ini adalah keputusanku. Kamu harus mengikuti apa yang aku pilih. Tapi aku akan berada di depanmu. Selalu. Maafkan aku Juli.
xxx


Dalam raga dan rasa yang semestinya utuh, kamu memilih untuk melempar aku tanpa menganggap ada tidaknya rasa itu. Kamu tahu aku memang tidak mudah terlempar meskipun oleh kamu sekalipun. Kamu tahu aku terlalu kuat untuk semua ini. Aku melompat mencoba untuk berada tetap di belakangmu. Tapi kamu terus menepisku. Dengan mata itu. Mata penuh hipnotis. Dengan mulut itu. Mulut yang selalu berucap manis. Dengan tangan itu. Tangan yang ku tahu selalu lembut saat ku sentuh. Sampai akhirnya mata itu menjadi tajam beserta mulut dan tangan yang menjadi kasar. Sepertinya aku benar-benar dilempar. Dibuang. Tapi kamu tak mau membuangku sia-sia, kamu telah memilihkan tempat untukku berjalan, berlari kembali, melompat lagi, dan dengan sedikit ikhlas yang ada, aku mengikuti permainanmu. Berjalan pada peta yang kau beri. Tepat pada bulan Juni, Juni.
xxx
Terangnya langit tak dapat aku ikuti dengan indah. Meski harus tetap nampak indah dalam kelabu yang terajut. Warna pink yang begitu lembut bersama biru muda dan silver yang terpasang, menggambarkan lembutnya hatimu. Kamu indah. Sangat indah. Aku tahu itu sudah sejak lama. Aku senang melihatmu. Aku bahagia melihatmu. Aku tak menyesali apa yang telah kupilih. Bahagiaku melihatmu dalam senyum yang mungkin terpatahkan. Oh... Juli.
xxx
Ketika hari itu tiba, tetangga, para kerabat, sanak saudara datang berbondong-bondong dalam acara sakral ini, hatiku tak berhenti mengucap istigfar. Hatiku lanjut menyebutkan sifat-sifat Allah SWT. Hatiku semakin bergetar ketika melihatnya. Dia tersenyum pula. Semakin kederlah aku. Tapi tubuhku tak bergetar. Aku berusaha memperlihatkan senyum yang biasa aku perlihatkan padamu. Kamu tetap seperti dulu Jun, kamu tampan.
xxx
....
“Om, aku suka main sama Om...” kata anak perempuan berbaju biru itu sambil memegang hidung sang Om.
“Oya? Kenapa Nara suka main sama Om?” tanyaku sambil mengusap-usap rambutnya yang sangat lembut.
“Om itu pinter... kalau Nara nanya apa aja pasti bisa jawab. Om juga suka bikin Nara gak marah lagi, kalau Nara lagi berantem sama Bunda. Om hebat! Bahkan Papa juga kayaknya kalah sama Om. Heheee”
“Nara... Papa Nara pun sama dengan Om. Nara pasti belum tahu, dulu waktu masih kuliah Om gak lebih cerdas dari Papanya Nara. Justru Papa Nara itu tempat Om suka nyontek. Hehee tapi Nara  jangan tiru Om yah. Hehee.. Lihat sekarang, Om cuma bisa nemenin kamu belajar. Coba lihat Papanya Nara, udah bisa keliling dunia. Bahkan Nara sendiri sudah pernah liburan di Amerika kan? Hebat itu... Om jadi iri sama Nara...”
“Iya juga yah Om. Papa Nara itu hebat. Tapi jadi jarang ada di rumah. Ya sudah bulan depan kalau Nara sama Bunda dan Papa jadi  liburan Sanghai, Om ikut aja. Nanti biar Nara yang bilang sama Papa.”
“Ah? Gak usahlah Nara... Nanti Papa Nara bayarin ongkosnya kan jadi double, kasian kan...”
“Gak apa-apa kok. Waktu itu aja Mbo Sari diajak ke liburan ke Jepang. Masa Papa gak bisa ajak Om juga. Om tenang aja. Nanti biar Nara yang bilang, yah!”
“Errr.....”
xxx
Juni,
“Jadikan Om kita liburan bareng-barengnya... kata aku juga apa... Papa aku tuh pasti bisa bayarin kita semua. Papa aku kan baik banget.” Nara mencium pipi Papanya.
Aku hanya tersenyum seadanya. Tak mampu berkata banyak dalam kondisi seperti ini. Apa lagi ketika melihatmu dengan mata yang tertutup kaca mata hitam. Aku tahu aku bisa melihat senyummu. Tapi senyummu tak bisa mengelabui matamu, jika aku bisa melihatnya.
xxx
Juli,
“Jadikan Om kita liburan bareng-barengnya... kata aku juga apa... Papa aku tuh pasti bisa bayarin kita semua. Papa aku kan baik banget.” Nara mencium pipi Papanya.
Aku melihat senyumnya yang tampak membeku. Aku merasakan kondisi ini kondisi terburuk yang pernah kujalani. Sama ketika acara sakral itu. Jantungku memompa darah begitu cepat tapi tubuhku tetap tak bergeming. Hijabku tetap rapi meski angin kian datang begitu kencangnya. Beruntung kaca mata hitam ini melindungi dari debu-debu dan perasaan-perasaan yang terbawa angin. Aku sudah menjalani peta yang kau berikan. Maka aku tak kan mungkin memutar arah menuju lokasi yang sama. Itu kan yang kau mau!
xxx
Tubuhku bergetar hebat dalam kamar berukuran 3x3 yang sangat kacau. Aku mencoba mencari beberapa bungkusan-bungkusan kecil berisi obat yang ku butuhkan saat ini. Tapi kemana obat itu? Mengapa tak ada pada tempatnya? Aku tak bisa lagi menahan getaran ini. Tubuhku menjadi dingin. Otakku sepertinya sudah pasrah menerimanya. Seperti tak bisa lagi memberi saran apa yang harus aku lakukan. Otakku seperti berbicara bahwa aku tak dapat lagi hidup tanpa obat ini. Aku benar-benar tak bisa Tak bisa! Aku pun mulai menggigit lengan kananku. Lengan kiriku. Melukai semua tubuhku dengan benda apa saja yang ada. Terakhir aku melihat pulpen berujung lancip itu. Meski harus tetap bergetar aku mencoba meraihnya. Aku menggenggamnya erat dan mengarahkannya pada lenganku yang tampak sudah terluka. Namun tak lama kemudian aku mendengar seseorang menjerit histeris.
“JUNI!!”
Aku tak bisa melepaskan genggaman pulpen itu. Lalu pintu kamar terbuka. Dia melihatku penuh kecewa. Sambil berurai air mata dia menarik paksa pulpen yang ada di genggamanku. Kemudian dia memperlihatkan beberapa lipatan kertas.
“Ini kan yang kau cari! INI KAN!” dia melemparkan bungkusan kecil-kecil itu ke hadapanku. Aku merasa senang. Aku bahagia melihat bungkusan itu. Dan aku tak bisa mempedulikan keberadaan dia lagi. Bungkusan kecil itu lebih nyata dan lebih penting daripada dia. Kemudian aku gunakan seperti biasanya. Suntikanku mana? Suntikan! Aku mencari-cari, dan akhirnya ku temukan. Dia melihatku memakai benda itu. Dia menangis. Dia jatuh menekuk lutut. Dia menangis melihatku. Tapi aku tak memedulikannya.
xxx
Malam itu tak berbulan. Bintang pun enggan muncul bersama. Aku mengajaknya duduk bersama. Di bukit, tempat pertama kita bersama. Aku dan dia sama-sama memandang langit suram itu. Memandang kelap-kelip lampu dari perumahan di sekitar.
.....
“kau tahu, aku masih bisa menunggumu sampai selesai proses rehabilitas.. aku akan terus menunggumu Jun...,” dia berbicara pelan dan yakin.
“Ini bukan perkara mudah. Ini memang bukan masalahmu, Juli. Ini semua masalahku. Aku tak bisa membiarkanmu terus-terusan dalam ketidak pastian ini—“
“Tapi, aku.. bahagia...,” dia memotong ucapanku.
“Apa bahagia yang kau rasakan selama empat tahun kebersamaan ini?” tanyaku padanya dengan nada menantang.
“Kebersamaan, perjuangan pahit yang pernah kita jalani bersama,---“
“Kenyatannya aku lebih banyak mengecewakanmu Juli. Aku tak mungkin tega membuatmu jadi rusak dan akhirnya orang tuamu akan kehilangan kamu karena aku,” kali ini aku yang gantian memotong ucapannya.
“Penyakitmu gak bisa jadi alas—“ dia berusaha menatapku, tapi aku tak membalasnya. Sampai akhirnya aku memberikan penjelasan panjang padanya.
“Jelas itu bisa Juli! Sudah aku bilang berkali-kali, aku tak mungkin mau menularkan virus HIV jahanam ini menginfeksi kamu, bahkan keturunan kita kelak ketika kita selanjutnya bersama. Itu tak mungkin! Akan banyak orang yang terluka karena kita. Tepatnya karena aku! Maka lakukanlah yang ku pinta! Ini semua semata-mata demi kamu, Juli! Demi keluargamu juga!”
Dia tak dapat lagi menahan tangisnya. Terlalu banyak permasalahan yang menghajarnya secara langsung akibat ulahku.
“Aku tahu, sahabatku Fardhan dari dulu menyukaimu. Dia lelaki yang baik dan dari keturunan yang baik pula. Pergilah bersamanya. Biar aku tetap bisa melihat senyummu..”
“JUNI!”
“Tenanglah, selama aku masih bisa bertahan. Aku akan selalu berusaha ada di dekatmu. Di depanmu. Melihatmu. Selama kau masih mau melihat keberadaanku, aku siap. Jika tidak, aku akan pergi. Dan jangan berharap kita akan bertemu lagi.”
“Juni...”
Dia memelukku begitu erat. Pelukan terakhir yang pernah aku rasakan.
xxx
 


akudansiidia.blogspot.com
xxx


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lalat Dalam Kesehatan ???

Mimpimu, cita-citamu bercerita.. ^^

Pratugas day 24