The Gnomes and Man #TheParagraph4
bugisposonline.com |
Mungkin inilah salah satu hasil dari rasa syukur yang sering kami panjatkan. Kehidupanku begitu damai bersama kedua orang tuaku, kedua kakakku, dan dua orang adikku. Bahagianya ketika matahari tetap terbit di posisi seharusnya, memancarkan energi yang mengakibatkan tubuh selalu segar. Meski hawa dingin di pagi hari terkadang menjadi godaan buruk untuk meraih secercah sinar. Tapi tinggal di daerah dengan masyarakat yang begitu saling menghormati dan saling menghargai adalah suatu rasa syukur yang luar biasa. Bisa berdampingan tanpa ada rasa buruk di hati masing-masing. Pagi itu keluargaku dan masyarakat yang lain sedang melaksanakan kerja bakti mingguan di setiap Sabtu. Kegiatan yang dapat memberikan banyak manfaat bagi kami semua. Rumput-rumput liar hilang, sampah-sampah pun musnah. Begitu nyamannya tempat kami tinggal. Hingga beberapa detik kemudian, kami mendengar suara gemuruh yang mengakibatkan burung-burung beterbangan di atas kami. Lama-lama gemuruh itu mengakibatkan getaran hebat. Kami beserta masyarakat lain saling berpegangan. Terpampang sudah wajah pucat pada diri kami semua. Apalagi tak lama kemudian beberapa rumah hancur seketika. Ya Tuhan... Ada apa ini?!
Pagi yang cerah telah menjadi
pagi yang penuh kelabu. Semua orang berlarian, saling berteriak memohon
pertolongan, jeritan dan tangis tak terelakkan lagi apalagi mereka yang
rumahnya hancur dan sanak keluarganya mendadak menghilang. Bukan hanya kami,
bahkan hampir seluruh hewan pun lebih memilih melarikan diri daripada mencoba
bertahan dengan tubuh besar mereka. Sebagai kepala keluarga yang baik, Ayah
berusaha melindungi kami dengan meminta kami untuk terus berlari ke daratan
yang lebih tinggi. Aku dan kakak-kakakku berusaha membantu Ayah dan Ibu dengan
menggendong si bungsu. Seperti mainan anak-anak yang diporak-porandakan bocah
nakal, mungkin seperti itulah keadaan kami sekarang. Bahkan aku sampai tak
merasa bahwa aku sudah tak memakai alas kaki, karena entah terlepas dimana
tadi. padahal biasanya aku tak pernah bisa keluar rumah tanpa alas kaki. Keadaan
sekarang begitu darurat, tapi aku belum mengerti sabab musabab ini terjadi. Dan
aku terus berlari di belakang Abang.
xxx
Dan semua yang ada di dataran
tinggi ini menatap lurus ke arah yang sama. Dimana pepohonan sebagian telah
tumbang, tempat tinggal kami sudah tak nampak lagi keberadaannya. Bunga warna-warni
pun hilang dalam kepulan asap pekat. Tak terbendung lagi air mata kami melihat
harta benda dan saudara-saudara yang lain yang hilang. Kami saling merintih
kesakitan dan seketika sama-sama beremosi ketika kami melihat para kendaraan
berat ternyata ada di dalamnya dan makhluk-makhluk yang mengendarainya. Kami terluka,
emosi, tapi kami belum bisa melawan mereka.
xxx
Tempat pengungsian kami memang
cukup jauh dari tempat tinggal kami sebelumnya. Tetua suku yang memimpin kami
tak henti-hentinya berpikir keras, mencari solusi untuk menangani masalah ini. Ini
masalah pertama yang begitu menyakitkan yang di alami kampung kami. Namun Tetua
bertekad untuk melakukan negosiasi dengan mereka yang telah membuat kami serba
kehilangan.
Malam itu, Aku bertanya pada
kakak...
“Kak Moli, sebenarnya siapa mereka? Mengapa mereka menghancurkan tempat
tinggal kita?”
“Seingatku, mereka itu sejenis makhluk hidup yang bernama manusia. Entah
mengapa mereka memang sangat sering mengganggu perikehidupan yang lain.
Sebelumnya bahkan aku mendengar dari cerita para Orang utan, bahwa tempat
tinggal mereka dihancurkan dan di alih fungsikan menjadi lahan kelapa sawit..”
“Serius kak? Sejahat itukah mereka?”
“Tapi, sebagian lagi ku dengar bahwa manusia sedang memperjuangkan hak-hak
kehidupan para Harimau. Agar kehidupan mereka dapat terlindungi dari yang
namanya kepunahan..”
“Lantas, seperti apakah harusnya manusia itu kak?”
“Mereka mirip dengan kita. Tapi ukuran mereka jauh lebih besar dari
kita. Bahkan bisa berkali-kali lipat dari ukuran tinggimu yang hanya 40 cm.
Untuk ukuran seperti kita, ukuran Tetua boleh jadi yang paling besar. Ya...
sekitar 55 cm lah..”
“Wow...” mulutku menganga lebar membayangkannya. Tiba-tiba Ibu
datang dengan tergesa-gesa sambil menggendong Uli, anak paling bungsu.
“Loli, kau lihat Arthur?” tanyanya padaku.
“Tidak. Bukankah tadi dia bersama kak Ical?,” jawabku seadanya.
“Tidak. Baru saja dia bilang kalau Arthur sudah tak bersamanya sedari
tadi. Makanya dia bilang mungkin Arthur bersamamu.”
“Tidak, bu. Loli bersamaku sejak tadi.” jawab kak Moli.
“Lalu kemana adikmu! Lekas bantu cari!” perintah ibu begitu sangat cemas.
Siapa yang tak cemas ketika salah satu keluarganya menghilang. Apalagi Arthur
yang masih berusia 4 tahun. Aku dan kak Moli pun bergegas mencari keberadaan
Arthur.
xxx
Di bawah bukit yang rimbun nan
sepi, seorang anak laki-laki menemukan sesuatu..
“Ayaaaah!!! Lihat ini!”
“Ada apa sayang? Hati-hati! Banyak serangga mengigit!”
“makhluk apa ini Ayah?”
“Entahlah nak... apakah dia terluka?”
“oh... Ayah.. kepalanya berdarah..”
“Ayo kita selamatkan dia!”
Lelaki itu pun mengangkat makhluk
itu kemudian berjalan menuju tempat parkir, diikuti oleh bocah kecil berambut
ikal.
Lain halnya dengan di tempat
pengungsian para kurcaci, aku dan yang lain sibuk mencari Arthur yang hingga
kini belum juga ditemukan keberadaannya. Sampai beberapa menit kemudian
seseorang mengatakan bahwa ia sempat melihat Arthur dibopong oleh seorang
manusia. Sang Tetua pun beranggapan bahwa Arthur menjadi salah satu korban
penculikan. Mereka pun semakin membenci makhluk yang bernama manusia itu.
Apalagi ketika mereka tahu, bahwa negosiasi sang Tetua dengan manusia-manusia
itu sangat gagal total. Mereka telah merampas hak-hak kami!
xxx
Hari itu matahari sedang berada tepat
di atas kepala-kepala kami. Para lelak telah siap dengan segala peralatan yang
ada. Sedangkan para ibu-ibu dan anak-anak tetap diam di tempat. Kecuali aku
yang sedikit nakal. Bersembunyi diantara para kurcaci dewasa, karena aku pun
sama kesalnya dengan mereka, sama marahnya dengan mereka. Aku merasa aku pun
harus melakukan sesuatu hal. Meskipun sampai saat ini aku masih belum tahu apa
yang bisa ku lakukan. Kami berjalan dengan kaki-kaki yang kuat sambil berdoa
semoga ada keajaiban untuk kelompok kami.
xxx
“Arrgh...”
“Hai, kau sudah membaik teman?”
“teman? Kamu siapa? Ayah, Ibu, Kakak mana?”
“Aku Gerrald. Aku tak melihat ayah, ibu, dan kakakmu ketika
menemukanmu..” jawabnya sambil mengulurkan tangan kepada anak itu.
“Aku Arthur. Mengapa bentuk kita berbeda? Tubuhmu sangat besar...”
ia bertanya sambil memperhatikan tubuh makhluk di hadapannya.
“Aku manusia, dan ayahku bilang kau mungkin sejenis kurcaci?”
“ya, yang ayahmu bilang itu benar. Aku memang kurcaci. Aku anak ke-4
dari lima bersaudara. Kau?”
“aku anak tunggal”
Maka mereka pun saling berbincang-bincang,
saling bertukar pengalaman yang berbeda. Bagaimana dikehidupan manusia. Bagaimana
dikehidupan kurcaci. Mereka sunguh asik memperkenalkan budayanya masing-masing.
Layaknya tak ada pembeda diantara mereka.
xxx
Adapun di tanah itu mereka saling
melukai, merusak segala benda yang ada. Kendaraan-kendaraan berat, truk-truk
besar, mengepung para pekerja yang tengah bekerja. Hingga seorang lelaki
berhasil kabur dan menghubungi sang pemilik proyek.
“Maaf Bos! Sedang terjadi kekacauan di kawasan proyek.”
“Kenapa bisa terjadi?!”
xxx
kekacauan ini semakin menjadi
ketika pemilik proyek hadir di tengah-tengah mereka. Antara kumpulan manusia
dan kurcaci yang tak mau mengalah. Menganggap masing-masing dalam posisi yang
benar. Para kurcaci yang meminta hak-nya karena tempat tinggal mereka dirusak
secara paksa oleh manusia. Mereka pun telah melakukan negosiasi dengan salah
satu perwakilan dari pekerja yang bernama Romy, tapi hasilnya nihil. Sedangkan pemilik
proyek telah menjelaskan bahwa proyek ini pun demi perikehidupan makhluk hidup,
ia pun beralasan bahwa sebelumnya telah melakukan beberapa kebijakan untuk
hak-hak para kurcaci sebelum tempat tinggalnya di tiadakan. Pemilik proyek
mengatakan bahwa ia telah memerintahkan bawahannya yaitu Romi untuk membuat
terlebih dahulu perjajian dengan para kurcaci. Dan ia pun sudah mendapatkan
laporan bahwa para kurcaci sudah menyetujui perjanjian itu, bahkan ia
menyatakan telah memberikan beberapa kompensasi sebagai pengganti lahan yang
diambil hak miliknya. Tapi para kurcaci tetap tak percaya, mereka terlalu gerah
menghadapi segala tekanan yang terjadi. Apalagi keluarga-keluarga yang telah
kehilangan sanak saudaranya. Termasuk adikku yang hilang. Arthur, dimana kau?
Tak lama kemudian, dua bocah
kecil datang ke tengah-tengah kekacauan. Dan semuanya terperanjat. Termasuk aku,
kakak, dan Ayah. Arthur! Siapa dia yang disampingnya? Kami semua memerhatikan
mereka secara seksama. Arthur nampaknya menyadari keberadaan kami. Ia pun
langsung berlari menghampiri kami. Kekecauan pun berhenti sejenak. Arthur
menceritakan segala sesuatu yang terjadi padanya kepada kami. Dimana ia ketika
terjatuh dari bukit, ditemukan oeh manusia bernama Gerrald, diobati, hingga
akhirnya diantarkan ke tempat yang sekarang. Kemudian Ayah menceritakannya kembali
kepada para kurcaci yang lain. Semua menjadi diam. Kemudian berembuk membentuk
lingkaran. Mendiskusikannya lagi. Akhirnya Tetua dari para kurcaci menyatakan
bahwa ia meminta sebuah pertemuan dimana dia yang bernama ‘Romi’ di hadirka
dalam tempat tersebut. Pemilik proyek sekaligus Ayah dari Gerrald pun
menyetujui hal tersebut.
xxx
....
“Arthur! Ayo kita main!” ajak Gerrald.
“Oke!”
Mereka berdua pun berlari
kemudian berpelukan. Seperti saudara yang sudah lama tak bertemu. Rasa-rasanya
kehidupanku menjadi damai kembali setelah pertemuan itu. Akhirnya pada
pertemuan itu ditemukan sumber masalahnya. Romi, asisten kontraktor telah
melakukan penggelapan dana kompensasi dan lahan pengganti bagi para kurcaci. Romi
pun dituntut ganti rugi dan telah masuk penjara. Kelompok kami pun telah
mendapatkan tempat tinggal kembali. Kami pun sudah saling memaafkan satu sama lain atas kesalah pahaman yang terjadi. Bahkan kami telah bekerjasama dengan Ayah
Gerrald untuk menjaga perikehidupan yang ada di sekitar kawasan proyek
pembangunan rumah satwa dan melaporkan apapun tentang pengrusakan ataupun
pemburuan hewan.
Komentar
Posting Komentar