The Candles #TheParagraph2
Angin berhembus dan dingin yang begitu merajam. Malam yang tak berbintang. Bintang-bintang itu sepertinya pindah malah mengitari kepalaku yang gondrong dan lengket. Sudah hampir seminggu ini aku terbaring di kamar. Sepertinya Salmonella thyposa enggan minggat dari tubuhku. Akibatnya aku tak bisa bergerak bebas. Semakin kacau ketika teman-teman datang menjengukku. Mereka hanya merecoki keadaanku yang tidak baik ini. Menjadikan kejombloanku sebagai topik yang paling hebat ketika menjenguk. Tapi seketika hening ketika dia datang.Seorang wanita paruh baya dengan tampilan yang cukup elegan untuk seusianya. Membuka pintu kamarku, menghampiriku dengan wajah cukup gelisah. Bahkan keberadan temanku pun nampaknya tak pernah ia anggap ada. Ku perhatikan dia, juga lelaki berjanggut panjang dengan pakaian serba terang yang terus mengikutinya. Memperhatikan seluruh ruang kamarku, bahkan memperhatikanku secara agak tidak wajar. Tapi aku merasa, aku tak menyukainya.
“Bagaimana keadaanmu
sekarang nak?”
“lebih baik,” jawabku singkat dan acuh.
“ah... aku sangat
mencemaskanmu saat Ia bilang kamu terkena tifus,” wanita itu berupaya mendekatiku. Tapi
aku mencoba menghalau tangannya yang ingin memegang dahi.
“Ini bukan masalah
tifus saja Nyonya...”
kata lelaki itu.
Lelaki berpakaian nyentrik itu menatap langit-langit kamarku.
Sudah ku duga, ini pertanda buruk. Aku memberi kode kepada teman-temanku agar
segera pulang saja. Beruntungnya mereka mengerti keadaan ini. Satu per satu
dari mereka berpamitan padaku dan padanya. Setelah mereka keluar, aku segera
mengambil alih percakapan.
“Untuk apa Nyonya
kemari?”
“Aku mencemaskanmu
nak!”
“Hah, cemas... Kau
hanya membuang-buang waktumu saja Nyonya. Maaf aku tak bisa membayar waktumu
yang sangat berharga itu”
“ZIDAN!”
“Anak ini dipengaruhi
hawa jahat Nyonya”
wajah lelaki nyentrik itu berubah seram dan serius.
“Hei, Kau! Jangan sok
tahu ya jadi orang!”
jawabku kesal.
“Zidan! Kau tak boleh
begitu!” wanita itu
membelanya
“Untuk apa Nyonya
membawa makhluk itu kesini! Aku tak memerlukannya!”
“Zidan! Dia yang akan
membantumu agar kamu bisa pulih lagi!”
Bicara apa Nyonya ini. Dia pikir aku terkena guna-guna? What the hell it is!
“Dengar! AKU TAK
MEMERLUKAN DIA TERMASUK ANDA, NYONYA!”
“Lihat Nyonya, bahkan
perilakunya pun sudah tak baik. Benar-benar hawa jahat ini telah merasuki
dirinya terlalu dalam. Ini harus segera diberi tindakan Nyonya.”
Ini sudah kelewat batas. Ini sudah tidak masuk dalam
rasionalku. Ini harus segera di akhiri.
“Dengar Pak, aku tidak
memerlukan jasamu, jadi silahkan anda keluar dari ruangan ini!”
“Zidan! Kau tak boleh
berkata seperti itu! Dia-“
“kau juga pergi..” kataku pelan.
“Zidan...”
“Aku tak membutuhkanmu kehadiranmu
Nyonya”
“Zidan! Tak bisakah kau
memanggilku ‘Mama’ lagi”
xxx
Ketika hidup tak dapat berjalan sebagaimana rencana yang
pernah dibuat. Selayaknya manusia menyadari hal lain yang mungkin lebih baik
yang telah direncanakan Tuhan untuknya. Tapi terkadang manusia terlalu egois
menanggapi hal tersebut. Sehingga ketika keegoisan jauh menjajah hati dan diri
ini, kesabaran tak mampu menembus batas nafsu dan amarah. Manusia kehilangan
cara untuk bersyukur.
Seperti lelaki yang tengah duduk di atas lantai di sudut
kamar itu. Duduk merapatkan kakinya dan menelungkupkan kepalanya di kedua
kakinya tersebut. Menangis tanpa suara dalam hening malam bulan purnama.
Datanglah sosok lelaki mungil berusia 4 tahun mengahampiri lelaki tadi.
memegang lembut tangannya kemudian memeluknya.
“Ayah...”
Lelaki itu tak menjawab. Tetap diam di tempatnya dengan
posisi yang sama.
“Ayah...”
Kemudian lelaki itu mengangkat kepalanya kemudian menatap
wajah mungil itu.
“Ayah nangis...?”
Lelaki itu pun memeluk anak kecil itu.
xxx
Rumah sangat kecil ini menjadi tempat kami berteduh bersama. Kecoak
baru saja melewati kami dengan santai. Saling berkejaran dengan kecoak-kecoak
yang lain. Masih untung tak ada tikus di rumah ini. Rumah ini memang sangat tak
terurus. Berantakan. Karena Ia tak sanggup menyewa pembantu sedangkan dirinya
harus bekerja keras. Ia bilang itu semua untukku. Seharusnya pemandangan
seperti itu pun sudah menjadi makanan sehari-hari kami. Tapi mestinya hari ini
menjadi hari yang indah bagiku. Kue dengan 5 lilin sudah menyala sedari tadi.
sedangkan kami tetap menanti kedatangannya dengan penuh harap. Sampai dua jam
berlalu dan lilin-lilin itu habis termakan waktu. Yang ditunggu tak kunjung
datang.
“Ayah... lilinnya...”
“kita ganti dengan sisa
lilin yang ada saja ya sayang...”
xxx
“Semalam Ayah kemana?”
“Hanya ikut meronda di
pos”
“Tapi malam itu kan
bukan jadwal Ayah meronda”
Ia tak lagi menjawab. Bahkan ia mencoba mengalihkan
pembicaraan.
“Kau sudah baikan Dan?”
“Malam tadi dia datang
kemari. Ayah sengaja kan pergi keluar rumah malam-malam karena tahu dia akan
datang. Dan Ayah pun tak mau lagi melihat dia kan?”
“Siapa maksudmu? Mama mu?”
“Untuk apa Ayah
memberitahu keadaanku kepadanya?! Dia tak kan mungkin bisa membantuku. Bahkan dia
malah bisa membuatku sakitku semakin sakit! Harusnya Ayah mengerti itu!”
“Bagaimanapun dia adalah-“
“Dia bukan siapa-siapa! Dia hanya orang lain yang
berpura-pura simpati terhadap kehidupan kita. Ayah tahu? Dia membawa orang aneh
kemari! Memperhatikan aku dan kamarku dengan tatapan yang mencurigakan!”
“Oooh.. nampaknya Mama
mu belum juga sadar”
“Takkan pernah Ayah!”
xxx
Di ruang tengah di rumah kecil itu, terdengar suara-suara keras
yang sama-sama tak mau mengalah. Dan wajah mungil itu hanya bisa bersembunyi di
balik kamarnya sambil menangis perlahan.
“Kau tahu Fredi,
menurut Ki Sena kita itu tidak berjodoh! Seharusnya aku berjodoh dengan seorang
pengusaha besar! Bukan karyawan sepertimu! Mungkin dulu aku terkena guna-guna darimu!”
“Astagfirullah Win...
Istigfar! Aku tak mungkin melakukan itu semua!”
“Buktinya, sampai 10
tahun kita menikah hidup kita tetap tak ada kemajuan yang berarti! Rumah saja
masih ngontrak. Mau apa-apa harus pinjam, pinjam, pinjam! Hutang saja
dimana-mana! Pantas saja selama 6 tahun di awal kita tidak langsung diberi
anak. Bahkan Tuhanpun tak memppercayai kita untuk mempunyai anak!”
“Tapi sekarang berbeda!
Sekarang sudah ada Zidan!”
“Aku sudah tak sanggup
lagi hidup seperti ini! Aku minta cerai! Sudah ada pengusaha besar yang menungguku
diluar sana!”
“WINA!”
“Tak ada waktu lagi, Ki
Sena bilang aku harus segera bercerai dengamu kalau aku ingin hidupku terus
bahagia. Aku juga harus mengikuti perintahnya untuk berguru di rumahnya
terlebih dahulu sebelum aku aku dipertemukan dengan jodohku itu!”
“WINA! Itu musyrik!”
“Kau tak usah banyak
bicara Fredi. Ceraikan saja aku!”
xxx
Dalam hangatnya sinar matahari di pagi itu, badanku sudah
segar kembali. Telah siap beraktivitas seperti biasa. Berangkat kerja demi
menjemput mimpi. Dan ketika aku sampai di depan rumah, ku temukan Ayah sedang
memandang langit yang terang itu. Aku menyentuhnya.
“Eh, kamu Zidan. Mau
berangkat?”
Aku menganggukkan kepala.
“Aku sudah siapkan
sarapan untuk Ayah. Jangan lupa dimakan. Aku usahakan pulang lebih cepat ya
Yah. Semoga saja.”
“hati-hati di jalan
nak...”
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam..”
xxx
Senja menganga telah bersiap menelan segala sinar yang ada di
permukaan bumi. Motor ku pacu sangat cepat karena tak ingin sampai di rumah
setelah adzan maghrib. Aku tak mau meninggalkan Ayah terlalu lama sendiri di
rumah. Hawa panas yang ku rasakan pun tak terasa lagi ketika aku sudah sampai
di depan rumah.
“Assalamualaikum!
Yah... Aku pulang!”
Hening. Tak ada jawaban. Aku bergegas masuk ke dalam rumah
mencari Ayah. Memanggil namanya berkali-kali. Dan aku berhasil menemukan Ayah
di dapur dengan tangan yang kotor.
“Eh, Dan! Sudah pulang?
Ini kue-nya baru jadi. Tapi maaf, Ayah membuatnya tidak terlalu baik”
Ia meletakkan blackforest
berdiameter 20 cm di meja makan. Kemudian mengorek-ngorek laci. Memasangkannya di
tengah-tengah kue. Kemudian menyalakanya.
“Ayah... untuk apa Ayah
melakukan ini semua?”
“Ya jelas kamu lah.
Hanya kamu anak Ayah satu-satunya. Untuk siapa lagi? dasar bodoh!”
“Ahh... aku bukan anak
kecil lagi..”
“Ayah tahu. Ayo duduk!”
“Tapi Yah-“
Aku pun duduk tepat di depan kue itu.
“Dengarkan Ayah dulu.”
Aku mengikuti apa yang ia minta. Mencoba mendengarkan segala
ucapannya dengan seksama. Sudah lama ia tak berbicara seserius ini.
“Zidan, selama 26 tahun
keberadaanmu, Ayah tahu Ayah tak dapat memberikan yang terbaik untukmu. Tapi
kamu tak pernah sekalipun mengeluh akan semua ini. Meski harus bertahan dengan
secercah cahaya lilin. Meskipun aku tahu waktu itu kamu ingin membeli
mobil-mobilan remote control seperti milik si Rio.”
Aku terkekeh sejenak. Aku jadi ingat betapa aku menginginkan
mobil-mobilan itu. Sialnya si Rio hobi sekali memanas-manasiku. Untungnya ia selalu memiliki jurus terhebat yang membuatku tak dapat lagi berkutik.
“Ayah tak bisa
memfasilitasimu dengan baik. Lantas kamu hanya bisa sekolah di sekolah biasa
saja. Taukah kau Nak, Ayah bangga memilikimu. Kau sering sekali membuatku
bangga hingga Ayah tak pernah lelah mencari nafkah demi kamu. Kamu sungguh anak
hebat! Ketika kau masih kuliah saja kau sudah bisa memberiku tempat berteduh
yang sangat indah ini.”
Ya, aku ingat ketika hasil rancangan iklan miliku terjual
mahal oleh salah satu perusahaan besar dunia. Aku langsung tak berpikir panjang
untuk membelikan ia sebuah rumah. Salah satu mimpi yang tak pernah ku hapus
sejak dulu.
“Terima kasih, Zidan.
Selamat ulang tahun nak...”
Air mataku mengucur deras seketika. Aku langsung memeluk kaki
Ayah.
“Hei, ngapain kamu? Ayo
tiup lilinnya! Nanti meleleh lagi loh!”
Aku terkekeh mendengar perketaannya. Teringat masa yang lalu.
Masa-masa gelap yang telah hilang bersamaan dengan tiupan lilin ke-26 ini.
“Fuhh!”
![]() |
wawasanislam.com |
Di lain tempat, ruang gelap penuh lilin dan sesajen berbau menyan..
"KIII!!! Ki Sena!!! Tolong!! Mengapa lilin-lilin ini mendadak menyambar tubuh saya!!"
xxx
Komentar
Posting Komentar