Lily #TheParagraph7
1st paragraph by Desvian Wulan
Matahari bahkan belum ingin memancarkan sinarnya yang berwarna kuning keemasan pagi ini. Pun dengan udara yang masih saja terasa dingin menusuk tiap lapis epidermis meski aku sudah melapisi pakaianku dengan satu lembar sweater rajut dan satu jaket tebal di lapisan paling luar. Suara jangkrik terdengar masih berlomba, menghampiri telingaku begitu pintu kayu itu kubuka. Sambil sesekali terdengar suara katak menimpalinya. Kubuka lipatan payung merah muda dengan beberapa gambar Lilium candidum L di tepiannya. Hujan masih belum berhenti sejak semalam. Samar-samar aku melihatnya di sana, di ujug jalan itu. Berdiri dengan tubuh menyandar dinding, mencoba melindungi dirinya dari rintik hujan yang masih rindu mencumbu bumi. Kepalanya tertunduk memandang air menggenang di lubang kecil tepi jalan. Sesekali sepatunya memecah genang air di dekatnya. Bibirku melengkung bersaman dengan ingatan yang melayang ke masa dua puluh tahun lalu, ketika aku menangis dan marah besar karena genangan air berwarna coklat yang ia pecah dengan sepatunya menciptakan sesuatu di dress merah muda yang dibelikan Ibu untuk hadiah ulang tahunku.
xxx
Pagi itu aku begitu
bahagia ketika Mama dan Papa menghadiahi aku sepatu baru dan helikopter remote
control. Hari itu hari jadi ku yang ke-7. Dengan sepatu dan mainan baru itu aku
berkeliling-keliling komplek, memamerkan hadiah yang ku dapat. Rasa bangga
semakin menjadi ketika aku bertemu dengan teman-teman sepermainanku.
Memperlihatkan betapa canggihnya helikopter itu, meliuk-liuk diantara dahan pohon.
Terbang mengangkasa di langit biru. Aku sangat ingin membuat mereka sirik
kepadaku. Meskipun itu sebenarnya tidak baik. Langit biru itu masih saja
menyisakan genangan hujan semalam. Dan saat itu aku melihat anak kecil berbaju
pink sedang lompat-lompat di depan rumahnya. Sepertinya sedang menunggu orang
tuanya keluar. Aku belum kenal betul dengan anak perempuan itu. Anak perempuan
dengan rambut ikal pendek kemerahan dan senyum yang riang. Dia anak baru di
komplek kami. Aku coba menghampirinya sambil tetap menerbangkan helikopter
milikku. Helikopterku terbang lebih cepat dari langkahku. Tiba-tiba saja,
helikopter itu oleng. Aku tak bisa mengendalikannya tapi aku terus berusaha
untuk mengendalikannya. Ku pikir helikopter itu pasti akan jatuh maka
bergegaslah aku mengejarnya dan meraihnya. Dan helikopter itu berhasil aku
dapatkan, ketika aku melompat dan berhasil berpijak di genangan air kotor di
lubang jalan. Tepat berada di samping anak perempuan itu. Kemudian anak perempuan
itu marah dan menangis sedangkan tanpa merasa bersalah aku berlalu begitu saja
ketika dia menangis. Aku pun pulang.
xxx
Kemarin aku melihat
berita jatuhnya pesawat terbang di sebuah persawahan. Aku menyimaknya begitu
takzim. Menurutna hampir seluruh penumpangnya tak dapat diselamatkan. Aku
berigidik. Aku bersyukur ketika aku masih bisa melihat Ibu dan Ayah di keesokan
harinya. Tapi aku melihat anak laki-laki itu terpaku dan membisu di hadapan dua
pusara itu sekarang. Di penuhi bunga warna-warni yang harum. Keramaian yang ada
di dekatnya terlihat begitu menggangguna. Ketika seorang lelaki yang
memayunginya menyentuhnya, ia menepisnya seketika. Tak ada seorang pun yang
boleh menyentuhnya. Semuanya mengerti keinginanna itu. Satu per satu
orang-orang berpakaian serba hitam itu pergi meninggalkannya. Termasuk aku. Mama
menarik lenganku dan berjalan dengan santai. Tapi aku sesekali masih
melihatnya. Sampai ia beringsut dari tempatnya dan berjalan bersama lelaki yang
memayunginya dengan arah yang berbeda. Kasihan sekali dia. Meski usianya hanya
terpaut satu tahun lebih tua dariku tapi mulai sekarang dia akan hidup sendiri
tanpa kedua orang tuanya. Jelas, aku bisa merasakan semua itu. Sebelum akhirnya
aku di adopsi oleh keluarga yang amat baik ini.
xxx
....
Entah mengapa Tuhan
menghendaki aku hidup dalam penuh kesesakan ini. Tuhan sepertinya sedang
berusaha mengujiku berkali-kali. Baru saja satu tahun yang lalu aku menjadi
Yatim piatu. Sekarang DIA ambil pula Nenek ku tercinta satu-satunya. Jadilah
aku hidup sebatang kara. Sanak saudara tak ada yang dapat dipercaya kasih
sayangnya selain mengincar harta Papa. Aku terpuruk dalam usiaku yang belum
dewasa. Meski harta melimpah ruah, aku tak dapat menikmati hidupku ini dengan
damai. Andai saja Paman Sam (Samsudin) tak ada, mungkin aku akan kehilangan
masa depanku. Paman Sam adalah orang kepercayaan almarhum Papa, sopir pribadi
kami. Dia satu-satunya orang yang bisa aku percaya pula. Hanya saja aku tetap
jadi anak yang membenci keramaian. Aku lebih memilih sepi menjadi sahabatku. Hanya
saja terkadang, tingkahmu mengalihkan duniaku. Terkadang masih merasa bersalah
atas cipratan yang ku ciptakan waktu itu.
Akhirnya setelah bertahun-tahun
berteman sepi dan hanya mengamati kamu yang selalu berlalu dalam diam. Aku berniat
memohon maaf atas kejadian dulu, 12 tahun yang lalu. Tapi akhir-akhir ini aku
malah tak pernah melihatmu lagi. Kamu kemana?
“Paman
Sam!”
“Iya
den..”
“Mmm....
rumah yang ujung sana kok akhir-akhir ini kelihatan sepi terus ya?”
“Oo...
katanya sih keluarga Pak Widodo pindah ke Korea den..”
“Hah?
Korea?”
“Iya
den... Kangen sama mba Lily ya den? Heheee”
“sok
tahu,” jawabku pendek sambil melengos pergi. Meskipun pertanyaan
Paman Sam terakhir itu cukup membuatku menohok.
Tahun-tahun berlalu
begitu cepat. Aku telah menjadi Sarjana, menjadi seorang entrepreneur,
menjalankan kembali perusahaan Papa yang sempat tak terurus. Ternyata kini
Tuhan menghendaki aku dalam kebahagiaan. Aku yang lulus dengan predikat cum laude.
Dipercaya pula menjadi perwakilan Indonesia sebagai pembicara entrepreneur muda
yang sukses di beberapa negara Asia. Aku pastikan kedua orang tuaku di sana
bangga atas keberhasilanku ini.
xxx
Pagi itu hujan masih
merintik dan aku mencoba berdiri dengan tubuh menyandar dinding, mencoba
melindungi diri. Aku tertunduk sambil melihat kembali selembar kertas yang ku
dapat dari tetangga rumahku. Sambil sesekali memandang air menggenang di
lubang kecil tepi jalan. Sepatuku
memecah genang air di dekatnya. Bibirku melengkung bersaman dengan ingatan yang
melayang ke masa dua puluh tahun lalu, ketika dia menangis dan marah besar
karena genangan air berwarna coklat yang aku pecah dengan sepatu baruku menciptakan
sesuatu di dress merah muda.
Tiba-tiba, aku
merasakan kehadiran seseorang di sampingku sambil membawa payung berwarna pink.
Dia tersenyum kepadaku.
“Apakah
kamu mencari alamat rumah ini?” tanyanya sambil
menodorkan selembar kertas berisi alamat yang sama. Mataku tak berkeip untuk
sekian detik dan dia malah tersenyum lagi sambil menyodorkan tangannya.
“Hi,
namaku Lily”
Dalam hati aku
menjawab “Ya, aku sudah tahu”. Sekarang
aku bisa merasakan sentuhan tangannya.
“Aku
Guntur,” jawabku. Dan akhirnya aku menemukan lagi senyum
itu. Senyum yang sempat hilang. Seketika itu pun, hujan berhenti.
wolipop.detik.com |
xxx
Komentar
Posting Komentar