Gift
Siang
selalu berganti malam. Begitupun dengan matahari yang selalu bertukar posisi
dengan bulan. Seperti itu sajalah selama ini hidupku. Tertata dengan baik di
tempatnya. Tapi bagaimanapun tertatanya, ada sesuatu yang belum berdamai dengan
hati ini. Aku mengkhawatirkannya.
Setiap
detik yang ada telah ku manfaatkan dengan sebaik mungkin agar aku tidak harus
bersusah payah merindukannya. Tapi sedetik saja tanpa kegiatan, rasanya dia
selalu langsung hadir di kepala ini. Ini akibat komunikasi yang terputus. Sudah
hampir 5 bulan aku tak pernah berkomunikasi dengannya. Rasanya seperti
perempuan bersatus tapi single. Aku tahu ini bukan kesalahannya. Tapi ini
konsekuensi antara dia dan aku dimana telah ada kesepakatan untuk memakluminya.
Berusaha untuk selalu mempercayai satu sama lain. Hanya itu satu-satunya jalan
untuk kami agar hubungan ini dapat terus berjalan. Kepercayaan yang semestinya
dapat dibayar mahal dan pada akhirnya dapat berdiri kokoh dalam gerbang
pelaminan. Ah, khayalan ini yang selalu menggelayuti pikiranku. Kebahagiaan
yang sempurna. Semoga.
“VIVI...!
Bangun!”
Suara
itu membuatku tersentak. Berbagai khayalan yang indah hilang sekejap. Itu Mama!
Segera aku membuka mukena putih yang masih aku kenakan selepas sholat subuh.
Ini memang salah satu kebiasaan burukku. Melamun setelah sholat subuh. Tapi itu
adalah bagian ternyaman dari hidupku. Seperti bercerita pada Tuhanku.
Mama
masih saja menganggapku anak kecil. Padahal usiaku sudah menginjak angka 28.
Mungkin karena aku anak satu-satunya dalam keluarga ini. Tapi begitu berbanding
terbalik dengan Ayah. Ayah sangat tegas dan menganggapku sudah sangat dewasa.
Terkadang sedih mendengar ucapan-ucapan Ayah yang sering menyerempet-nyerempet
masalah tentang hidup yang sedang ku tata ini. Dari wajahnya yang sudah banyak
mengerut aku merasakan banyak ketidak puasan yang dia terima dengan apa yang
telah aku pilih. Aku memang sering berselisih paham dengan Ayah. Termasuk
kekurang tertarikan Ayah dengan dia. Sampai sekarang belum pernah menemui titik temu yang dapat menyeimbangkan
perbedaan antara kami dan hasilnya aku menangis lagi. Ya, aku memang hanya bisa
menangis daripada harus selalu menentang kalimat-kalimat Ayah.
***
“Bagaimana
dengan Wisnu sekarang bu di rumah?”
“Alhamdulillah
bu, sejak Wisnu dibimbing ibu, sekarang Wisnu sudah jauh lebih mandiri daripada
sebelumnya. Sudah bisa makan dan merapikannya sendiri. Bahkan sekarang sudah
bisa memilih dan memakai pakaiannya sendiri,”
“Alhamdulillah...
itu bukan semata-mata karena saya bu. Saya hanya membantu. Tapi kekuatan dan
keteguhan ibu itulah yang telah membentuk Wisnu menjadi jauh lebih mandiri. Terus
dukung Wisnu bu, hanya itu yang dibutuhkan olehnya”
“Terima
kasih banyak bu. Ibu sangat luar biasa dalam membantu ibu-ibu seperti kami”
Aku
tersenyum, dalam hati berkata “aku tidak luar
biasa, tapi ibu-ibulah yang luar biasa” Aku pun segera meninggalkan ibu itu
karena sudah saatnya aku berada di tempat lain. Sampai ketemu minggu depan
anak-anak. SLB BINA MULIA HARAPAN. Ah, besok aku tidak akan bertemu mereka,
Kepala Sekolah memintaku untuk mengikuti pelatihan se-Indonesia di Jakarta
selama 4 hari. Sedihnya hanya aku karena sesuai surat yang beredar, bahwa satu
sekolah hanya mewajibkan satu orang untuk mewakili sekolahnya masing-masing.
***
“Maaf
pembukaannya sudah dimulai belum?” tanyaku cemas.
“Belum,”
jawabnya sedikit terkejut.
“Ah...
Syukurlah. Tadi hp ketinggalan di WC. Heheee....”
“Dari
SLB mana bu?” tanyanya dengan senyu ramah.
“Oh,
saya Vivi dari SLB Bina Mulia Harapan. Bapak sendiri?”jawabku sambil
mengulurkan tangan.
“Ahh...
saya Faqih dari SLB dekat-dekat sini... hehee”
“Iya
nama sekolahnya apa toh pak...?”
Belum
sempat bapak itu menjawab, ponselnya berdering dan ia pergi meninggalkan
kursinya. Kemudian hilang diantara ratusan orang itu. Beberapa menit kemudian
acara dimulai. Satu persatu pembicara maju hingga aku tertegun sejenak. Orang
yang sedang berbicara di depan sekarang adalah Bapak yang tadi aku tanya, yang
ada di sampingku. Aku semakin menganga ketika sang MC menyebutkan namanya
lengkap. DR. Faqih Mahesastra Winata M.Sc, Phd. Seorang doktor berusia 30
tahun. Glek! Rasanya ingin pingsan saja!
***
Sejak berkenalan dalam pelatihan
itu, hubungan kami semakin baik bahkan dekat. Selepas pelatihan itu dia tak
pernah luput menghubungiku meskipun sehari saja. Mungkin ini terlalu gombal. Dia menyatakan
bahwa aku lah wanita pertama yang pernah ada di hatinya. Terlalu cepat bagiku
untuk mempercayainya apa lagi dari seorang yang baru aku kenal. Tapi aku tidak menyangkal
bahwa aku sempat dibuat kege-eran oleh doktor muda tersebut. Dua bulan terasa
lebih cepat bersama dirinya.
***
“Istirahat
ya Vi...”
“Kamu
juga ya...” jawabku lembut pada Faqih.
“Jangan
lupa dengan ucapanku tadi sore”
“Akan
aku pertimbangkan.”
Baru
saja ponsel ku mati. Tiba-tiba berdering lagi, telpon dari nomor yang tidak aku
kenal. Ragu-ragu aku menerima telpon itu.
“Halo?”
“Vi,
Ini aku. Daris,”
Jleb!
Seperti kejatuhan durian tepat di kepalaku.
“D-dd-aris?”
tak sadar air mataku mulai berjatuhan.
“Iya,
ini aku. Kamu sehat kan Vi? Maafin aku baru bisa hubungi kamu. Di sini gak ada
sinyal sering terjadi konflik pula. Ini pun pakai telpon satelit. Kamu nangis
ya? Masih hobi nangis aja ih kamu.”
Rasanya
dada ini sesak. Seharusnya aku bahagia bisa mendengar lagi suaranya. Tapi
mengapa aku sulit berbicara sekarang. Mungkin terlalu banyak yang ingin aku
luapkan bersamanya selama ini. Tapi kenapa baru sekarang!
“Aku
sehat Ris.. kamu baik juga kan?”
“Alhamdulillah.
Doakan aku terus ya Vi. Aku kangen kamu. Orang tuaku.”
Semakin
perih mendengar kata-katanya yang seharusnya menjadi indah untukku. Belum
sempat aku menjawab, dia sudah duluan bicara kembali.
“Vi,
aku gak bisa nelpon lama. Selain biayanya yang lebih mahal teman-temanku yang
lain juga sudah pada ngantri. Nanti aku hubungi lagi ya Vi. Semoga kamu tetap
sabar menungguku. Aku pasti meminangmu. Oya, mungkin tiga harian lagi aku harap
skype mu aktif. Salam untuk Mama dan
Ayahmu. Assalamualaikum.”
“waalaikumsalam”
Telpon pun terputus. Aku tak sanggup lagi menahan derai air mata ini. Aku
merasa bersalah pada Daris karena sekarang aku sedang dekat dengan Faqih. Tadi
sore secara langsung dan pribadi Faqih melamarku. Ia bilang jika aku
menerimanya, ia akan langsung mengenalkanku dengan kedua orang tuanya. Aku senang
tapi aku masih memikirkan Daris. Seseorang yang selalu aku tunggu kepulangannya
dan kedatangannya lagi ke rumahku.
***
Skype ku memberi tanda ketika
seseorang menghubungiku. Tidak salah lagi, itu Daris! Aku menerima skype-nya. Dia tampak lebih kurus dari
pertemuan terakhir dengannya. Tapi ia begitu sumringah melihatku. Tentu saja
aku pun bahagia meskipun aku masih sempat-sempatnya memikirkan Faqih. Dia
bilang, ia sedang berada di kantor sebuah perkebunan. Jadi dia bisa
menghubungiku lewat skype. Tidak lama saling bercakap-cakap, ia menyatakan
keinginannya untuk meminangku. Hatiku semakin terasa teriris-iris mendengarnya.
Dia membuat sebuah cincin dari ilalang yang tumbuh di sana. Dia bilang, “aku belum bisa membeli cincin emas asli di
sini. Tapi dengan cincin ini, anggaplah hanya perlambang bahwa aku serius
denganmu. Aku serius melamarmu. Aku ingin kamu yang akan menemaniku sampai
nanti. Please be mine...”
Aku
semakin tak bisa berkutik. Aku bingung harus menjawab apa. Aku menyayanginya.
Tapi aku pun tak mau nantinya selalu ditinggal pergi olehnya. Di lain sisi
Faqih dengan setia selalu menemaniku selama aku kesepian tanpanya. Aku tak
sanggup lagi menahan derai air mata ini. Aku merasa bersalah pada Daris karena
sekarang aku sedang dekat dengan Faqih. Tadi sore secara langsung Faqih
melamarku. Ia bilang jika aku menerimanya, ia akan langsung mengenalkanku
dengan kedua orang tuanya. Aku senang tapi aku masih memikirkan Daris.
Seseorang yang selalu aku tunggu kepulangannya dan kedatangannya lagi ke rumahku.
Sekarang keduanya meminta jawaban dari ku dari sebuah permintaan yang sama. Aku
belum bisa menjawabnya. Hanya itu jawaban yang aku berikan pada Daris. Aku tahu
Daris tampak kecewa dengan jawaban itu. Tapi dia menerimanya dengan baik dan
dia akan menunggu kepastian dariku.
***
Beberapa
hari ini aku tak pernah menerima telpon atau sms dari Faqih. Aku berusaha
berpikir jernih. Aku tak mau salah memilih. Dua minggu berlalu dengan segala
keheningan yang tejadi. Aku berjalan kaki menuju rumah dengan menjinjing sekantong
pesanan mama untuk mulai menyambut puasa esok hari. Sampai akhirnya di depan
rumah, aku mendapati empat orang sedang berdiri memperhatikanku. Kemudian aku
melihat Ayah dan Mama berada di belakang mereka. Aku mematung di depan mereka.
Lelaki itu mendekatiku.
“Kamu?
Kok?”
“Aku
dapat cuti,” jawabnya sambil tersenyum. “untuk kedua kalinya aku meminta secara
resmi di depan orang tuamu, will you
marry me?”
Dan
aku mendapati Ayahku tersenyum lebar. Hal yang paling jarang ku temui selama
hidupku.
***
wow, cerpen yang keren :)
BalasHapusTq.. ^^
BalasHapus