Saksi itu Pintumu
Satu hari bersamamu singkat. Bahkan
satu bulan atau mungkin sewindu pun, ini terlalu singkat. Selalu terasa singkat
dengan hari-hari penuh senyum dan tawa manis di depanku, di sampingku. Binar matamu
sanggup memberiku semangat untuk terus mengetuk pintu rumahmu setiap pagi,
siang atau malam. Begitu kuatnya daya magnetmu, menguatkan hatiku yang selalu
ingin lepas dan melekat dengan hatimu. Dari senyummu pun aku tahu kau tahu
tentang semua ini. Aku yakin itu, hanya saja engkau tak pernah mau menganggap
hal itu sebagai kenyataan yang membahagiakan untukmu, bahkan untukku pun tidak.
Kesetiaanku pada dirimu sama
seperti kicauan burung di setiap pagi, yang selalu setia membangunkanmu dalam
dekapan hawa dingin dan cahaya yang mlai berkilauan. Tapi kamu hanya bisa
menampakkan senyum sebiasa engkau menyambut burung-burung itu. Aku mencoba
memahaminya. Hingga aku menyadarinya. Dia telah mengalihkan matamu,
kebiasaanmu, hidupmu. Aku tersingkir secara kasar, dan hilang dalam biasannya.
Ini pahit, aku tak seharusnya
tersingkir semudah itu. Tapi itulah kamu. Rasanya sudah saatnya aku mulai
menghilang dari kehidupanmu, dari kebiasaanmu. Aku takkan mengulanginya lagi. Aku
berdiri dan berjalan meninggalkan bayangmu dan membiarkan pintu itu menjadi
saksi, bahwa aku takkan kembali.
Komentar
Posting Komentar