Dengarkan Aku
Ketika seorang seorang janin
diberi kehidupan oleh sang pencipta dimana janin tersebut tak pernah diberikan
pilihan sebelumnya. Apakah ia ingin hidup atau tidak, bukan ia yang tentukan. Ketentuan
hidup atau tidaknya adalah di tangan sang maha kuasa atas dasar permohonan
orang-orang di luar sana yang mungkin berharap atau mungkin biasa saja, tanpa
harapan apapun. Hidup bersyukur, tidak pun tak menjadi masalah.
Sejak dalam kandungan sang janin
tak pernah diberikan pilihan. Pilihan itu telah dipegang teguh sang penanggung
jawab. Hingga kehidupan berjalan, beragam pilihan menentukan akhir dari
kehidupan ini. Apakah akan berjalan dengan baik atau tidak. Memilih adalah kata
sederhana yang sering membuat manusia kelimpungan dalam mencari solusi terbaik.
Dimana bukan hanya logika yang berjalan, tapi antara pikiran dan hati
semestinya selaras dengan piihan yang ada. Tapi semuanya tidak berlaku padaku.
“Kok bisa kayak gini!
Kamu tuh selalu saja bikin kacau!”
Entah sudah berapa kali
kalimat-kalimat itu muncul dimulutnya dan aku hanya bisa berdiam diri dengan
kepala tertunduk. Dulu mataku selalu basah mendengarkan kalimat itu, namun
sekarang tidak. Mungkin karena sudah terlalu sering telingaku menerima
kata-kata kasar seperti itu. Aku memang tidak pernah di anggap baik olehnya.
Tapi aku tetap menyayanginya.
Lagi-lagi aku meminta maaf atas kesalahan
yang telah ku perbuat dengan segala gerak-gerik penuh permohonan tapi selalu ku
dapati wajah penyesalan dalam dirinya. Hatiku mencelos lagi. Aku sudah berusaha
tapi mungkin usahaku belum maksimal. Aku akan berusaha menjadi yang lebih baik
lagi. Aku bangkit dari kesusah payahanku untuk berdiri di hadapannya.
Perjalananku sepertinya sudah
terpola jelas. Aku tak bisa lagi melarikan diri darinya. Padahal aku ingin,
tapi aku terlanjur menyayanginya begitu sangat walaupun sakit. Aku tak pernah
mengeluh, aku selalu mengumbar senyum kepada orang-orang disekitarku. Wajahku mungkin
mampu menyimpannya, tapi tubuhku tidak. Terlalu sering tubuhku ambruk. Namun
tak pernah ada lagi kekhawatiran yang menggebu seperti dulu. Dimana aku
menangis aku dirangkulnya. Aku dipeluknya. Sekarang, itu semua hanya bisa
menjadi khayalan semata. Aku memahaminya. Aku tak bisa seperti dulu lagi.
“Makanya, kamu tuh makan yang banyak biar gak cepet sakit! Gimana mau
sukses kalau kamu kayak gitu terus! HUH!”
Kali ini aku mengurung diri di
kamar dengan segala kesakitanku. Aku meringis dalam gelap. Memandangi Kakak
perempuanku yang baru saja pulang dari Australi dan disambut hangat oleh Ayah.
Air mataku berderai, maafkan aku Ayah. Maafkan aku yang sudah hadir dalam
kehidupan keluarga ini, mengacaukan kehidupanmu. Maafkan aku yang tak pernah
bisa lebih baik dari dia. Aku tak pernah bisa menjadi seperti apa yang kau minta.
Tapi aku akan selalu mencoba membanggakan dirimu dan berusaha mendoakan yang
terbaik untukmu Ayah. Semoga engkau menerima keterbatasanku ini. Seandainya saja
engkau bisa mendengar apa yang ku ucapkan barusan. Kamarku tetap hening dalam
gelap.
Komentar
Posting Komentar