Sepotong Kue Kacang Punya Cerita -1
Kue Kacang. Bukan kue spesial
dengan rasa yang spesial juga, tapi
cukup menggugah bagian lidahku yang pemilih dalam memilih kue. Dan kue ini
akhirnya menempati salah satu bagian pada lidahku. Kue ini tidak spesial tapi
menjadi istimewa ketika aku mencoba dan
merasakannya. Yang aku tahu dan aku rasakan, rasanya tak pernah beragam, hanya
kacang. Tapi bentuknya bisa berubah-ubah. Sesuai hati sang pembuat. Ada bentuk
bulan, bintang, bulatan, persegi panjang dan tak lupa hiasan kuning telur di
atasnya agar kue ini tampak lebih menawan meskipun menurutku tidak terlalu memberi
efek pada kekuatan rasanya. Ada juga yang menambahkan kacang mete utuh atau
potongan mete kasar di atas hiasan kuning telur pada kue kacang ini. Mungkin
agar terlihat lebih rupawan dan rasa kacangnya lebih kuat di lidah penikmatnya.
Hmm... Sebenarnya aku bukan ingin
membahas tentang bagaimana cara membuat kue kacang ini, bukan pula membahas tentang
sejarah kue ini, juga bukan menceritakan bagaimana rasanya kue kacang ini
ketika diterima oleh lidahku yang agak pelik. Tapi aku hanya ingin berbagi
cerita bagaimana kue kacang ini bisa menjadi bagian dari segala proses hidup
yang sedang ku jalani hingga sekarang. Aku menemukan persahabatan dalam gigitan
pertama kue kacang.
Sekitar 2004 yang lalu ketika aku
masih menginjang Sekolah Menengah Pertama...
Ketika aku berkunjung ke rumah
teman sebangku yang sebut saja bernama Lia. Aku berkenalan dengannya ketika aku
terpilih menjadi salah satu siswa yang masuk ke dalam kelas ‘yang terpilih.’
Aku merasa bangga saat itu sekaligus agak bingung bagaimana bisa aku bergabung
dengan mereka-mereka yang terpilih. Pada saat itu aku dan Lia belum duduk
sebangku dan kami belum terlalu akrab. Hingga akhirnya di kelas 3, kami masuk
ke dalam kelas ‘yang terpilih’ kembali dan dia menginginkan duduk bersamaku.
Aku menyetujuinya.
Lambat laun aku semakin mengenali
sosok dirinya, baik buruk sifatnya dan kami saling menghargai satu sama lain,
meskipun kami pun sempat pernah bertengkar tentang suatu hal yang aku pun
sendiri sudah lupa. Lupa, mungkin karena yang terpikr olehku sekarang hanya Lia
dalam tanda positif yang jelas. Lia yang cantik begitu care terhadap ku, baik dan sangat sabar berteman denganku, mau
mengalah ketika aku mulai tak mau mengalah, dia yang selalu mau berbagi ketika
Abangnya sedang pulang, dia yang selalu mengerti apa yang sedang aku risaukan,
dan dia yang selalu kukuh, percaya dengan pilihan dan pendiriannya. Sesuatu
yang dulu tak mungkin aku bisa lakukan tapi sekarang ‘insya Allah’ BISA!!!
Perawakannya saat itu tinggi dan
kurus namun tetap belum mengalahkan tinggi tubuhku dan kekurusannya tubuhku.
Kulitnya putih bersih nan pucat layaknya kulit-kulit warga-wara sipit di luar
sana. Siapa yang menyangka bahwa ia terlahir dari tempat yang cukup jauh dari
jalan raya dimana ketika ia bersekolah ia mesti berjalan sekitar 2-3 kilometer
atau diantar ayahnya bila sempat. Dengan keadaan orang tua yang hidup begitu
sederhana (aku tidak berani bilang ia berkekurangan karena menurut standarku
dia masih termasuk orang yang beruntung memiliki orang tua yang utuh, Abang
yang seorang pekerja keras, dan rumah yang cukup nyaman saat itu). Aku pun
termasuk yang tidak menyangka hal tersebut sampai aku di ajaknya ke sana. Dan
akhirnya aku merasakan apa yang ia rasakan. Kedatanganku yang ke-3 kalinya
bersama sahabatku (Dea) tanpa ada rencana sebelumnya sempat membuat dirinya
sedikit gelagapan karena tidak menyiapkan sesuatu untuk menjamu kami. Setelah
diminta istirahat di kamarnya, kami ditinggal sebentar olehnya. Ternyata ketika
datang kembali, ia membawa beberapa cemilan warung. Inilah pertama kalinya aku
mengenal Kue kacang. Selama ini aku tak pernah melirik-lirik sediitpun kue itu,
kue apapun yang dijual di warung-warung kecil. Menurutku saat itu, kue itu
pasti sangat tidak enak karena harganya yang sangat murah dan bungkusannya yang
sangat tidak menarik. Begitu pula dengan warna kue itu. Namun jamuan yang Lia
hidangkan saat itu membuatku harus sedikit menurunkan gengsiku terhadap kue
ini. Termasuk Dea yang seleranya hampir sama denganku. Namun begitu aku
memasukkan kue tersebut ke dalam mulut yang terlebih dahulu disambut oleh
barisan-barisan gigi yang tajam, gigitan pertama yang terjadi telah
mengakibatkan kue tersebut hancur secara kasar dan memasuki ruang mulutku yang
terdalam dengan sambutan selanjutnya oleh lidahku yang manja. Kasar. Itulah
kesan pertamaku. Manis. Kesan kedua ku. Ketiganya yaitu gurih. Dan yang
terakhir ‘menyatu’. Ketiga kesan yang ku peroleh dari gigtan pertamaku terhadap
kue yang begitu asing di lidahku malah sangat menyatu dengan rasa di lidahku.
Seperti menemukan kecocokan akhirnya lidahku menyambut kue kancang yang ke-dua
dan seterusnya.
Saat itu aku langsung mengakui
bahwa kue kacang ini mulai bersahabat denganku. Secara tak langsung pun Lia
telah menunjukkan padaku bahwa makanan
yang enak bukan hanya berasal dari tempat-tempat yang mewah dan harganya yang
mahal. Yang terpenting adalah ketika seseorang mampu ikhlas menerimanya di
dalam mulutmu dan melihat yang membawakan kue itu menaruh harapan baik ketika
kuenya disajikan. Sama seperti proses hidup yang membutuhkan keikhlasan untuk
menjalaninya. Tinggal bagaimana kita menyambut proses tersebut. Apakah akan
disambut dengan hati yang ikhlas? Ataukah akan disambut dengan hati yang
dangkal?
Akhirnya meskipun hingga kini
kami (aku dan Lia) terpisah sangat jauh, aku begitu bersyukur pernah
mengenalnya. Kesuksesan yang ia dapat memang pantas ia dapatkan. Semoga Hidupmu
pun sama-sama sukses kawan! Salam sayang dan Rindu dari aku untukmu yang di
Batam. J
Komentar
Posting Komentar